Unit Kegiatan Mahasiswa GAMADIKSI USU

Cerita Inspiratif : LANGKAH KECIL YANG BEGITU BERARTI Oleh : Akhmad Rapiudin


LANGKAH KECIL YANG BEGITU BERARTI
Oleh : Akhmad Rapiudin*
 
“Drrrt...drrrt...drrrrtt…” secara mengagetkan suara getar handphone kecilku seketika membangunkanku dari lelapnya istirahat di malam hari. Tepat pukul 02.00 dini hari, segera aku terbangun menuju tempat wudhu di sebelah mushola di pesantren tempatku menuntut ilmu, kubentangkan sajadah dan larut dalam kekhusyukan ibadahku kepada sang Ilahi yang memberikan kesempatanku untuk kembali menghirup udara kehidupan. Kutengadahkan tangan, banyak sekali yang aku minta untuk kebahagiaanku, kebahagiaan orang tuaku, kebahagiaan keluargaku dan orang-orang yang aku cintai. Kuusapkan tangan kewajahku yang tanpa diperintah seketika pula berlinang air mataku. Tanpa kusadari Pak Kyai berada disampingku, sedikit kaget dan tergagap aku dibuatnya. Pak Kyai letakkan tangannya di kepalaku seraya mengucapkan, “Anakku mintalah semua yang ingin kau minta, karena sesungguhnya hanya Allah-lah tempat kau meminta, janjikan kebahagiaan kepada orang yang mencintaimu, jangan ragu untuk meminta, karena Allah Dzat yang maha mengabulkan doa”. Kata-kata yang begitu sejuk dan menenangkan, aku kembali menangis haru.
            Pagi pun menjelang, berlomba dengan hangatnya sang mentari, aku telah rapi dengan pakaian putih abu-abu, berdasi dan bertopi. Sudah kusiapkan segala buku pelajaran yang diperlukan untuk sekolah hari ini. Ketika hendak berangkat Zaini teman satu kamar pesantrenku memanggil “Fi, sarapan dulu, ini sudah disiapkan”, tidak ada makanan yang spesial, hanya nasi liwet yang sedikit gosong dengan gorengan ceker ayam dan saus cabai terhidang dalam satu nampan, jangan tanya bagaimana rasanya, namun entah kenapa kami lahap sekali memakan sarapan pagi  itu bersamaan.
            Sebenarnya aku sekolah di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Kronjo Kab.Tangerang, kami sering menyebutnya dengan sebutan “MAHKOTA” yang merupakan singkatan dari Madrasah Aliyah Harapan Kronjo Tangerang, sekolah yang diisi oleh anak remaja menjelang kedewasaannya dalam menggapai segala harapan dan impian. Dikarenakan jarak sekolah dan rumah yang sangat jauh akhirnya aku memutuskan untuk sekolah dan sekaligus menimba ilmu di pesantren yang memang jarak pesantren ke sekolah tidak terlalu jauh hanya sekitar 15 menit berjalan kaki melewati pematang sawah. Tempat yang begitu asri untuk menimba ilmu.
            “Raffi” itulah panggilanku, terlahir dengan nama lengkap “Akhmad Rapiudin”. Semua teman-teman mengenalku sebagai sosok yang sangat atraktif, ceria, dan cerewet. Di kesibukanku yang harus membagi waktu dan otak untuk sekolah sekaligus pesantren, tak pernah satupun kegiatan sekolah yang aku lewatkan, menjadi Pradana Pramuka Mahkota , Gitapati Marching Band Gita Mahkota, pengurus Teater Cangkir Mahkota, Karate, Kajian Keagamaan, bahkan posisi vitalku sebagai sekretaris OSIS di sekolah. Mungkin semua orang akan menggelengkan kepala dengan padatnya aktivitas harianku, namun aku begitu menikmatinya, karena selagi kita mampu di segala bidang kenapa kita tidak kembangkan semuanya.
            Di balik sosokku yang katanya ceria dan selalu gembira kapan dan dimana saja, sejujurnya banyak perasaan sedih yang aku pendam, mungkin hanya sendirian. Tak banyak yang tahu aku selalu menangis tersedu-sedu di shalat  malamku. Terlahir dari keluarga yang kata orang  Broken Home” Ayahku berpisah dengan Umi saat usiaku masih 2 tahun, usia yang sangat kecil untuk mengerti arti perceraian. Sebenarnya aku merupakan anak terkecil dari tiga bersaudara, namun  dua kakakku meninggal ketika mereka masih balita. Sejak umurku 5 tahun aku tinggal bersama Umi dan Abi (Ayah tiriku). Umi merupakan mantan TKW di Arab Saudi dan Syiria, Alhamdulillah berkat kerja keras dan lika-liku Umi menjadi TKW kami mampu memiliki rumah yang layak huni dan Umi bisa beribadah haji ketika menjadi TKW disana. Namun memang resikonya ialah sejak aku usia 6 tahun harus berpisah dengan Umi dan tinggal bersama kakek dan nenek di gubuk kecil pinggiran empang karena kami yang tidak memiliki tanah dan rumah di kampung. Sedangkan Abi hanya bekerja sebagai tukang ojek dari motor sewaan milik tetangga. Nenek hanya penjual ikan keliling, dan kakek yang hanya bekerja sebagai penunggu empang dan petani musiman yang hanya mampu menanam cabai dan tomat di tanah pingiran empang yang ia jaga. Jadi apa kemewahan hidup yang bisa kami tuntut, bisa makan sehari sekali saja kami sudah sangat bersyukur.
            Hidup kami memang sangat jauh dari kemewahan, dari kecil aku terbiasa hidup mandiri tanpa mampu menuntut apapun. Namun dari situlah aku banyak belajar untuk giat meraih segala impian dan harapan, tak banyak yang aku inginkan aku hanya ingin hidup yang lebih baik. Umiku kembali ke Indonesia ketika aku menginjak kelas 6 SD, 7 tahun yang sangat lama untuk berpisah dengan Ibu kandung sendiri, bahkan aku sempat lupa bahwa aku masih memiliki seorang Umi. Kehadiran Umi dan Abi menjadi kekuatan terbesarku untuk senantiasa belajar dengan giat. Alhamdulillah akhirnya dapat kuselesaikan 6 tahun sekolah dasarku dengan mendapat predikat lulusan terbaik juga 3 tahun masa sekolah Tsanawiyahku dengan beasiswa penuh juga dengan predikat lulusan terbaik, sampai akhirnya aku mendapatkan beasiswa untuk bersekolah di Madrasah Aliyah Negeri Kronjo, sekolahku sekarang. Karena jarak sekolah yang sangat jauh dari rumah yang tak mungkin rasanya ditempuh dengan sepeda tua milik kakekku seperti masa Tsanawiyah dulu akhirnya aku memutuskan sekolah sambil pesantren di salah satu pesantren yang letaknya tidak jauh dari sekolah, “Pesantren Darurrohmah” namanya.
            Keinginanku semakin kuat untuk tidak mau menjadi orang yang hanya biasa-biasa saja, terbukti di tahun kedua sekolah aku mendapatkan penghargaan sebagai siswa terbaik karena keaktifan dan kemampuanku dalam menjuarai beberapa lomba, sekolah memberikanku hadiah sebuah netbook yang diberikan langsung pada saat kenaikan kelas, aku naik ke atas panggung dan menerima hadiah netbook tersebut yang diberikan langsung oleh kepala sekolah, menangis haru dan bangga aku dibuatnya, gemetar tanganku menerima hadiah tersebut, barang yang aku membayangkannya saja tidak berani, karena pasti aku tak mampu membelinya, kini aku memilikinya sebagai hadiah. Satu yang disayangkan, Umi tidak mampu meyaksikan momen bahagia tersebut, karena Umi pada saat itu sedang bekerja sebagai buruh pabrik dan tidak dapat ijin untuk menghadiri acara kenaikan kelasku, yang hadir ialah Abi dan Mak Tua (Nenek), langsung kupeluk Abi dan Mak tua sambil menangis, Abi dan Mak Tua pun menangis haru. Selesai acara, sore itu bergegas aku pulang ke rumah, dan benar saja ketika Umi pulang bekerja Umi langsung memelukku dengan erat, dengan suara serak karena tangisan haru dan bangga  Umi berkata “Teruslah bermimpi Nak, anak Umi Cuma Raffi” sambil terus memelukku erat.
            Tahun ketiga di sekolah, tak ada lagi masa bersantai. Pelajaran sekolah yang semakin padat dan bimbingan belajar tambahan dan ujian percobaan untuk menghadapi ujian akhir nasional. Tentu saja tersimpan pertanyaan besar dalam diriku ini, “Bolehkah aku bermimpi lagi?”. Bermimpi untuk mampu melanjutkan pendidikan sampai perguruan tinggi.Iya, menjadi mahasiswa. Tapi apakah aku mampu? Biaya kuliah kan mahal? Uang kuliahnya dari mana? Kampus mana yang kuliahnya murah? Tersimpan banyak sekali pertanyaan mengenai mimpiku ingin berkuliah. Sampai akhirnya muncul satu kesimpulan “Dapatkan Beasiswa Kuliah! Bukankah 12 tahun sekolahmu juga mengandalkan beasiswa. Kenapa tidak ditambah dengan 4 tahun lagi kuliahmu juga dengan beasiswa!” Kubulatkan tekad bahwa aku harus bisa kuliah dengan beasiswa.
            Kuliah? Anak tukang ojek? Mungkin bisa jadi banyak orang yang akan menertawakannya. Dan betul saja perjuangan untuk bisa  kuliah dengan beasiswa tidak pernah selalu mulus. Semua jenis beasiswa untuk lanjut kuliah aku daftar, mulai dari PBSB (Penerimaan Beasiswa Santri Berprestasi) namun gagal dan terkendala persyaratan admnistrasi dan ketidaktahuan cara pendaftaran, beasiswa etos dari Dompet Dhuafa juga kucoba, lulus seleksi administrasi dan harus mengikuti tes tulis dan wawancara di IPB Bogor, karena keinginan yang kuat untuk kuliah aku beranikan diri untuk berangkat dari Tangerang ke Bogor sendiri. Alhamdulillah aku lulus beasiswa ini, namun yang sangat disayangkan ialah aku tidak lulus jalur masuk SNMPTN Undangan, yang secara otomatis juga membatatalkan beasiswa etos yang aku dapatkan.
            Sangat sedih dan sempat putus harapan kala itu, beasiswa yang sudah di tangan namun jalur masuk PTN yang gagal. Entah apa penyebabnya padahal nilai aku jauh diatas rata-rata persyaratan dan akreditasi sekolah juga predikat A. Beberapa hari aku izin dari pesantren dan tidak berani ke sekolah karena perasaan sedih dan kecewa yang teramat sangat. Sampai akhirnya guru bimbingan konseling datang ke rumah, memberikan nasehat dan memberi semangat untuk mencoba jalur masuk SNMPTN Tulis (SBMPTN) dan juga mendaftar beasiswa BIDIKMISI. Aku sedikit banyak tahu mengenai informasi beasiswa BIDIKMISI ini dari obrolan teman-teman baru yang mengikuti seleksi beasiswa di Bogor. Namun rasanya percuma, aku serasa sudah berhenti berharap dan pesimis karena banyak juga mendengar cerita bahwa soal ujian masuk perguruan tinggi setara dengan rumitnya soal olimpiade. Yang sudah bimbingan belajar khusus berbulan-bulan saja masih banyak yang gagal, apalagi aku yang belum ada persiapan apapun untuk menghadapi ujian SNMPTN Tulis tersebut, ditambah lagi waktu pendaftaran dan ujiannya hanya tinggal sehari lagi. Percuma. Kubilang dalam benakku. Jangan mati konyol.
            Sampai akhirnya Umi masuk ke kamar mengantar segelas teh manis hangat. Ia sangat khawatir melihatku beberapa hari termenung dan sulit untuk makan “Nak, maafkan Umi”. Tersentak aku mendengar Umi minta maaf. “Seharusnya kamu tidak terlahir sebagai anak Umi, karena Umi tak pernah mampu membahagiakanmu, sejak kecil kamu tak pernah menuntut apapun, dan Umi tidak pernah mampu membelikanmu barag-barang bagus seperti yang dipunya teman-temanmu. Untuk kuliah saja kamu harus berjuang sendiri, seandainya kamu punya orang tua tidak seperti Umi dan Abi pasti kamu tidak akan sesulit ini untuk bisa kuliah, dan bisa memilih kuliah dimana saja yang kamu inginkan, maafkan Umi, Nak” kulihat air mata Umi mengalir, dan dalam pelukan Umi akupun menangis haru, bercampur aduk rasanya antara marah, kecewa, dan merasa bersalah.
            Karena Umi, semangatku kembali. Umi, Abi, nenek, dan kakek yang menjadi sumber semangat kehidupanku. Masih ada waktu yang tersisa, jangan sampai menyesal kita tidak pernah mencoba, itulah keyakinanku. Mulailah aku mempersiapkan semua, kubaca banyak brosur profil universitas, dan kucari jurusan yang pasti bisa aku masuki, prinsipku kini ialah kuliah dimana saja dengan jurusan apa saja yang penting dengan beasiswa, namun entah mengapa aku tertarik untuk mendafar ke Universitas Sumatera Utara di Ilmu Kesehatan Masyarakat, yang memang menerima kuota mahasiswa baru  cukup banyak di tahun itu.
Pendaftaran beasiswa bidikmisi juga sangat tidak mulus, mulai dari kekurangan informasi karena sekolah kami yang letaknya di pinggiran kota, akses internet yang lambat dan beberapa kali mengalami kegagalan koneksi, sungguh sangat mengelus dada, namun akhirnya berhasil juga. Aku pun mendaftar untuk seleksi SNMPTN Tulis (SBMPTN), masih juga terkendala, karena ternyata tempat ujian di Tangerang sudah terisi penuh, dan terpaksa harus mengikuti ujian di Kab. Serang yag masih terdapat tempat ujian. Beruntung ada salah satu guru tinggal disana, Pak Wawan namanya, dan aku diizinkan menginap di rumahnya ketika ujian.
Masih tersisa waktu sekitar 5 hari untuk persiapan ujian. Kupinjam semua buku dan kuunduh contoh-contoh soal ujian masuk perguruan tinggi. Seperti orang gila rasanya setiap hari bergelut dengan tumpukan buku dan ratusan lembar coretan kertas untuk mengerjakan soal, persiapan otodidak tanpa bimbingan belajar khusus. Bismillah…. hari menjelang ujian pun tiba, bersama Pak Wawan aku berangkat untuk mengecek lokasi ujian dan Masya Allah ternyata lokasi ujian sangat jauh dari rumah Pak Wawan, namun mungkin karena melihat kegigihanku untuk bisa kuliah dan nalurinya sebagaiguru yang berkewajiban membantu muridnya, dengan sangat tulus Pak Wawan mengantarkanku ke lokasi ujian dan menungguiku ketika sedang mengisi soal ujian.
Ujian SNMPTN Tulis pun sudah dilewati, kini hanya tinggal bertawakkal dan berpasrah diri, sembari menunggu pengumuman kelulusan, aku kembali ke pesantren. Tak pernah kutinggalkan sholat malam dan berdoa semoga Allah mengabulkan segala harapanku. Beberapa minggu kemudian pengumuman kelulusan akan diumumkan melalui website. Aku sedang di rumah kala itu, dengan harap-harap cemas aku buka netbookku dan kupasangkan modem untuk koneksi internet, kubuka website SNMPTN dan kumasukkan username dan nomor ujianku, “koneksi gagal” mungkin karena ribuan orang yang membuka website ini secara bersamaan. Begitu harap-harap cemas dan panik dibuatnya, aku menutup mata dan membukanya perlahan dan Alhamdulillah aku dinyatakan lulus di Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan dengan beasiswa BIDIKMISI, langsung aku sujud syukur dan berteriak memanggil Umi, Umi memelukku dan mengucapkan selamat.
Namun, di sela kebahagiaan itu timbul kecemasan lain, bagaimana aku ke Medan? Dari mana ongkos kesana? Bukankah itu jauh? Disana tinggal dengan siapa? Bercampur aduk rasanya. Esok harinya aku langsung ke sekolah dan mengabarkan perihal kelulusanku ke kepala sekolah. Alhamdulillah sekolah mengerti tentang keadaanku dan membantuku “Tenang saja , tidak usah khawatir, nanti tiket pesawat kesana dan biaya hidup kamu selama tiga bulan disana akan dibantu sekolah dan bapak-ibu guru,” ujar Bapak kepala sekolah menegaskan. Alhamdulillah Yaa Allah... nikmat yang luar biasa memiliki Bapak dan Ibu guru yang begitu tulus dan baik hatinya.
Dan disinilah aku sekarang, tanpa terasa sudah berada di semester tujuh yang sedang fokus mengerjakan tugas kuliah lapangan dan skripsi di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Disinilah aku sekarang menjabat sebagai ketua umum GAMADIKSI (Keluarga Mahasiswa Bidik Misi) Universitas  Sumatera Utara memimpin orang-orang yang luar biasa berjuang untuk kehidupan yang lebih baik dengan mimpi dan harapan besar yang harus dicapai. Teringat pertama kali ke Medan, bingung rasanya, tinggal dikamar kos sepetak dengan hanya beralas kain batik panjang dan lipatan kain sarung sebagai bantal yang memang hanya itulah yang ada kubawa dari rumah. Kini aku telah beberapa kali mengikuti acara konferensi, pelatihan kepemimpinan dan perlombaan baik tingkat regional dan nasional, terpilih sebagai mahasiswa BIDIKMISI berprestasi yang menjadi delegasi untuk Kongres Mahasiswa BIDIKMISI Nasional di Makassar dan beberapa kali memenangkan hadiah perlombaan.
Si anak tukang ojek dan mantan TKW yang menjadi delegasi bangsa Indonesia mengikuti konferensi “Asian Summit 2015” di Manila, Filipina bersama delegasi pemuda dari 112 negara yang lainnya, dan dengan bangga memperkenalkan bangsa Indonesia dalam dunia internasional. Si cucu penjaga empang dan tukang ikan yang tahun ini mendapatkan penghargaan rektor sebagai “Mahasiswa Universitas Sumatera Utara yang Berprestasi di Tingkat Nasional dan Internasional tahun 2015” yang mendapatkan sertifikat kebanggaan dan hadiah jutaan rupiah.
Namun itu semua masih langkah kecilku, karena masih banyak mimpi-mimpi besar lain yang akan kugapai, bermimpi kembali melanjutkan kuliah magister dan doktor di universitas favorit di luar negeri. Kenapa tidak? Ditertawakan orang dan dianggap tidak akan mungkin terjadi? Bukankah dulu aku juga ditertawakan dan disepelekan orang? Namun sekarang masihkah mereka berani mentertawakan dan mencemoohku? Yang terpenting ialah kita berusaha untuk kehidupan yang lebih baik dan membahagiakan orang yang mencintai kita dan orang yang kita cintai.
Inilah langkah kecil seorang anak laki-laki ceria yang sudah terbiasa hidupnya dilanda kesusahan dan kemelaratan, langkah kecil dari seorang balita yang sudah ditinggal cerai orang tuanya sejak kecil, langkah kecil seorang balita yang ditinggal ibunya bekerja sebagai TKW diluar negeri dan dititipkan hidupnya kepada kakek dan neneknya, langkah kecil seorang anak yang hanya mampu tinggal di gubuk pinggiran empang dan makan seadanya dari hasil tangkapan ikan, langkah kecil seorang anak yang tidak pernah minta dibelikan mainan, yang hanya ingin bersekolah dengan hanya memiliki satu sepatu yang bolong tidak pernah berani untuk minta diganti, langkah kecil seorang remaja yang harus berjalan kaki berkilo-kilometer untuk bisa ke sekolah, dan langkah kecil seorang mahasiswa BIDIKMISI yang berterima kasih kepada bangsa ini karena telah memberikan harapan kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang, karena langkah kecil itu begitu berarti dan aku sekarang disini terus dan terus bersaha meraih mimpi.


EmoticonEmoticon