Unit Kegiatan Mahasiswa GAMADIKSI USU

Cerpen : Ku Kibarkan Sang Merah Putih Oleh Letareana Agusti Nababan

 KU KIBARKAN SANG MERAH PUTIH


“Kring…kring…kring….”

Bunyi alarmku yang berada tepat diatas meja dekat dengan kepalaku membuatku membuka kedua kelopak mataku dan sejenak memandang langit-langit atap indah yang ku hiasi dengan lampu hias. Aku Tarik nafas untuk mengumpulkan nyawa yang masih beberapa. Lalu aku lihat jam menunjukan tepat pukul 05.30 WIB.

Aku pun bangun dan berjalan keluar kamar. Aku lihat kalender tepat hari ini tanggal 25 juli 2022. Hari ini adalah hari dimana sekolahku menyelenggarakan seleksi untuk menjadi anggota paskibra tingkat provinsi yang selama ini sangat aku idam-idamkan dan sangat ku tunggu-tunggu. Dengan cepat aku langsung bersiap-siap untuk pergi ke sekolah, namun ketika aku baru saja selesai pakai seragam, tiba-tiba saja kakek memanggilku.

"Ara..ayo kesini sebentar," ya itulah namaku Ara. Lebih tepatnya Mutiara Sri Maharani. Mungkin dari namaku bisa dilihat bagaimana latar belakang keluargaku.

 "Iya kek sebentar..ada apa kek?" Jawabku.

 "Hari ini hari seleksi paskibra perwakilan sekolah tingkat provinsi,bukan?" tanya kakek.

"Iya kek, aku udah gak sabar banget untuk seleksinya nanti. Aku udah persiapin semuanya dan aku yakin aku pasti bisa" jawabku dengan penuh semangat 45.

“Bagus..itu baru cucu kakek. Kakek jadi teringat sama eyang kamu yang dulu terlibat jadi salah satu pejuang kemerdekaan kita. Meskipun namanya tidak terlalu dikenal tetapi perjuangan eyangmu juga sangat kuat untuk indonesia ini. Kakek ingat sekali dulu waktu kakek mau ke sekolah, eyang mu selalu berpesan untuk rajin sekolah dan menjadi orang yang cinta akan negeri. Maka dari itu, kakek mengambil sekolah TNI agar kakek bisa mengabdi untuk negara ini. Eh.. sekarang malah nurun ke cucu kakek yang punya jiwa nasionalisme, bangga kakek” sahut kakek.

"Hehehe iya dong, cucu siapa dulu" ucapku dengan rasa bangga. 

"Yasudah kamu tunggu apalagi, ayo sana pergi, jangan lupa minta izin dulu ke ibumu ya," suruh kakek.

"Ehm.. aku takut kek.." ujarku sambil menggigit jari jempolku.

"Tidak apa-apa, coba bicara pada ibumu. Yaudah ayo kakek temeni bicara ke ibumu,” jawab kakek.

"Kakek memang kakek terbaik sedunia hehehe..ayo kek,"  jawabku sambil merangkul kakek yang sudah mulai sulit berjalan.

Belum saja tiba di depan pintu kamar ibu, jantungku sudah berdegup kencang seperti sedang ditembak crush. Tok..tok..tok.. aku dan kakek langsung masuk, namun posisiku berada di belakang kakek

" Fatimah, ini anakmu mau pergi ke sekolah tapi takut minta izin nih.."

"Loh kenapa takut nak, kan tiap hari juga kamu langsung samperin ibu untuk pamit"

"Iya itu hari biasa, tapi hari ini hari luar biasa bagi Ara" ucap kakekku dengan lembut.

"Loh memangnya hari ini hari apa?" tanya ibuku yang kebingungan sambil merapikan meja kerjanya. Ya, saat ini ibuku adalah tulang punggung keluarga yang kuat menggantikan posisi ayahku yang sudah lama meninggal.

"Ehmm... hari ini hari seleksi paskibra di sekolahku bu, dan ini perwakilan dari sekolahku untuk jadi paskibra tingkat provinsi bu" jawabku dengan penuh ketakutan.

"Astaga Ara…sudah berapa kali ibu katakan, kamu fokus sekolah kamu aja, paskibra itu juga tidak ada manfaatnya buat sekolah kamu. Mending kamu fokus belajar untuk masuk sekolah kedinasan nanti, kan kamu udah kelas 12. Tidak ada waktu lagi untuk berleha-leha," ucap ibuku dengan tegas.

Aku tahu benar apa alasan ibu yang sebenarnya, yang tidak mendukungku mengikuti paskibra, yaitu agar aku tidak menjadi anak yang terlalu nasionalis dan menjadi abdi Negara seperti mendiang ayahku. Ya, ayahku adalah jendral TNI angkatan laut yang sudah 7 tahun mengabdi untuk negara ini, namun perjuangannya pupus ketika sedang berlayar diserang oleh musuh negara asing. Kejadian saat itulah benar-benar membuat ibuku trauma dan takut aku seperti ayahku nanti.

"T-tapi bu.." sahutku.

"Fatimah, biarkan saja dia mengikuti paskibra, itu memang kesenangan dan keinginan yang tumbuh dalam dirinya sendiri. Bapak sudah lihat jiwa nasionalisme dari keluarga kita yang dahulu dan bahkan dari suamimu juga turun ke dalam diri Ara. Apa salahnya jika dia ingin mengabdi pada negara ini? Dari paskibra dia diajarkan untuk menjadi orang yang kuat, mandiri, percaya diri dan masih banyak lagi manfaatnya. Ara juga orangnya baik dan pintar. Dia bisa mengatur waktunya antara sekolah dan ekstrakulikuler-nya, kamu lihat kan dia selalu bisa bertahan juara 1 umum meskipun mengikuti kegiatan lain. Kali ini Ara juga pasti bisa. Tidak perlu mengingat kejadian di masa lampau. Tidak semua jalan hidup dan takdir manusia itu sama,” ujar kakekku yang membuatku semakin sayang kepada kakekku.

"Baiklah ibu izinkan, asalkan kamu benar-benar bisa mempertahankan sekolahmu dengan baik dan bisa jaga diri. Ibu tidak mau kamu hanya terfokus dengan paskibramu itu dan mengabaikan sekolahmu," ucap Ibu dengan tegas kepada Ara.

"Baik ibu, Ara janji akan buat ibu dan kakek bangga sama Ara," jawabku dengan semangat dan penuh rasa bahagia sambil memeluk ibuku.

Kemudian aku pergi ke sekolah dengan bahagia. Meskipun aku masih terasa ada yang mengganjal dikarenakan tanggung jawab yang ku emban untuk bisa membanggakan ibu dan kakekku, terutama ibuku untuk menunjukan bahwa paskibra itu hal yang membanggakan.

Setiba di sekolah, aku tatap bendera merah putih yang sudah berada diatas tiang bendera, berkibar dengan tegas seakan memberi semangat kepada diriku. Baru beberapa saat aku memandang sang merah putih, seseorang dari belakang langsung mengejutkanku.

"Hayo ara..lagi ngapain sih" kejutnya dari belakangku. 

"Astaga, ih raka jahil banget sih.." ucapku dengan penuh kesal.

Dia Raka Raja Dirwantara, temanku bahkan sudah seperti saudaraku karena kami sudah berteman sejak kecil. 

"Kamu kok lihat-lihat ke atas terus sih, nanti kena kotoran burung baru tau hahahaha" ejeknya dengan puas.

"Ih apaan sih, ini aku lagi liatin bendera tau. Lihat deh indah banget dia berkibar dengan tegas begitu" sambil menunjuk bendera itu.

" Iya deh, si paling nasionalisme..hadeh punya temen kok tua banget ya"

" Ih tua gimana, kamu aja yang terlalu lebay" ucapku dengan rasa tambah kesal

"Yasudah deh aku mau ke kelas dulu mau simpan tas,terus ke lapangan mau siap-siap, bye.." ujarku sambil meninggalkan raka

"Oh iyaAra tua mau seleksi paskib ya, oke semangat ya Ara.." teriaknya sambil melambaikan tangan.

Tanpa memperdulikan raka yang mengejekku tua dikarenakan memang pembicaraan dan pemikiranku yang tidak jauh-jauh tentang negara, politik dan sejarah membuat raka memanggilku seperti itu.

Tiba di lapangan aku melihat sudah banyak siswa lain yang sudah berada disana, langsung saja aku melakukan pemanasan untuk menguatkan otot tangan, kaki dan daya tahan. Setelah 30 menit, kak Yoga yang menjadi orang yang akan menyeleksi kami datang dengan pakaian trainingnya yang lengkap, ditambah lagi bentuk tubuhnya yang tegap serta badannya yang tinggi membuatku sedikit gugup, namun aku berusaha menguatkan diri agar aku tetap bisa percaya diri dan semangat.

“Ayo semuanya baris.." ucapnya dengan tegas.

Kami langsung saja berbaris menbentuk barisan yang sangat rapi. Melihat sainganku yang lain yang dominan adalah para pria tidak membuat semangatku lengah. Aku tetap percaya bahwa aku bisa.

Seleksi paskibra pun dimulai.

Setelah beberapa jam dan semua peserta termasuk aku sudah diseleksi, tibalah saatnya pengumuman. Sebelum pengumuman aku sudah berdoa kepada Tuhan agar aku bisa lulus, sebab ini adalah impianku sejak aku duduk di bangku SMP.

"Baik, setelah melakukan beberapa tahap seleksi, kini saatnya pengumuman. Buat adik-adik yang namanya dipanggil silahkan ambil barisan disebelah kanan. Ok langsung saja, nama-nama yang lulus adalah raikal, dimas, raden, jaka, bambang, riky, frans....”

Jujur saja aku mulai takut dikarenakan sejauh ini namaku belum dipanggil dan dari tadi yang dipanggil adalah laki-laki.

"Mutiara.."

Bumm..seperti ada sesuatu yang menabrak jantungku, rasanya campur aduk tidak bisa berkata-kata aku langsung berlari ke barisan sebelah kanan dengan senang. Tentu saja aku bahagia karena ini adalah hal yang ku idam-idamkan..kapan lagi bisa menjadi perwakilan sekolah untuk menjadi paskibra tingkat provinsi.

Setelah pengumuman selesai, tiba-tiba kak yoga menghampiriku. Aku awalnya takut dan bingung mengapa kak yoga menghampiriku.

"Mutiara Sri Maharani, bukan?" tanyanya.

" Iya kak, aku mutiara. Ada apa ya kak?” sahutku.

"Begini, mengingat posisi pembawa baki untuk upacara nanti masih kosong dan saya melihat kemampuan kamu tadi yang sangat baik dan sepertinya sudah sangat berpengalaman serta semangat kamu saat mendengar pengunguman tadi membuat saya berpikir untuk membuat kamu menjadi pembawa baki saat upacara nanti. Bagaimana apakah kamu mau?" tanyanya.

Tarrr...hatiku rasanya meledak dikarenakan senangnya. Mataku melotot seperti melihat hantu, saat itu aku benar-benar tidak bisa bicara, rasanya mulutku seperti terkena lem yang sangat amat kuat menutup rapat mulutku

"Bagaimana mutiara?" tanya kak yoga yang memutuskan perasaanku yang terkejut.

“Ah..i-iya kak.. saya mau, mau banget bahkan hehehe" jawabku dengan semangat nan lucu.

“Oke baguslah, besok jangan lupa datang latihan ya..”

"Baik kak, Terimakasih banyak ya kak" jawabku sambil tersenyum lebar

Setelah kejadian itu, aku langsung bergegas pulang dan setibanya di rumah aku langsung mencari kakek dan langsung memeluknya.

"Kakek..aku lolos kek, aku juga dapat posisi jadi pembawa baki kek.." jawabku dengan kegirangan.

"Wah selamat cucu kakek, kakek juga udah yakin kalau kamu pasti lolos" puji kakek.

“Iya kek, aku juga seneng banget, aku ga nyangka banget bisa dapat posisi pembawa baki, padahal aku cuma berharap lolos jadi paskibra aja, eh ternyata Tuhan ngasih yang lebih kek.."

“Iya Ara, kakek juga udah tau kamu pasti bisa lebih dari yang kamu pikirkan, ingat tetap rendah hati ya cu, ini juga berkat doa ibumu juga, bahkan ayahmu juga bangga akan hal ini padamu ara" nasehat kakek padaku.

“Iya kek, aku percaya ini semua juga berkat doa kakek dan ibu, aku ga sabar banget buat ibu nanti bangga liat aku, oh iya ibu mana kek?”

Baru saja aku mencari ibu, langsung ibu datang dari dapur.

“Aduh..aduh..ada apa ini, kok sepertinya lagi bahagia banget" tanya Ibu.

“Ibu.." langsung aku memeluk ibuku dengan erat.

“Aku lulus paskibra bu..aku juga dapat posisi pembawa baki bu.." Ucapku dengan gembira tak karuan

“Wah selamat nak, tapi tetap ingat, sekolah nomor 1 ya" puji Ibu.

“Siap bu" 

Meskipun ibu langsung membicarakan sekolah yang sepertinya ibu tidak terlalu senang dengan kabar ini membuatku sedikit kecewa, namun aku bertekad aku akan menunjukkan yang terbaik kepada ibu. Aku mau membuktikan bahwa aku bisa banggain ibu dengan menjadi bagian paskibra.

Hari-hari pun berlalu, aku melakukan aktivitasku dengan semangat terutama mengikuti latihan paskibra setiap minggunya. Tak lupa juga aku belajar untuk persiapan masuk sekolah kedinasan yang ibu juga aku idamkan. 

"Kring....kring...kring..."

Suara alarm yang kuat yang ku letakkan disamping telingaku. Kali ini aku tanpa berdiam diri,langsung aku bangun dan melihat jam menunjukan pukul 04.00 wib. Jangan heran mengapa aku mengatur alarm jam 4 pagi, tentu saja karena aku sudah sangat bersemangat untuk menjalani hari ini. Tepat 17 Agustus 2022 hari yang sudah aku nantikan, hari kemerdekaan indonesia ke 77 yang akan menjadi hari bersejarah bagiku karena bisa tampil menjadi paskibra posisi pembawa baki yang akan disaksikan Bapak Gubernur dan para pejabat tinggi lainnya. Langsung saja aku bergegas dan menyiapkan diri sebaik mungkin untuk upacara bendera nanti. Tak lupa juga kakek menyemangatiku untuk tetap percaya diri dan semnagat saat upacara nanti. Ibu yang juga ikut membantu meriasku agar tampil cantik saat upacara nanti.

Pukul 07.00 WIB, aku sudah tiba di lapangan upacara dan bersiap-siap untuk upacara yang sebentar lagi akan dimulai. Ku lihat bapak gubernur serta pejabat lain  juga sudah tiba di tempat upacara. Dari kejauhan mataku sibuk mencari-cari ibuku dan kakek ku  yang berada di seberang lapangan, ku lihat mereka berdiri disana dengan senyum lebar meski diterpa sinar matahari.

Ketika upacara dimulai pukul 07.30, aku memfokuskan diri untuk terarah pada proses upacara saat itu. Tak ku pikirkan dan tak ku hiraukan hal lain, saat itu mataku hanya tertuju pada tiang bendera yang sangat gagah itu.

Kini tiba saatnya pengibaran bendera merah putih. Aku yang sudah sangat bersemangat dengan percaya diri melangkahkan kaki dan berjalan dengan aba-aba yang ada. Saat aku berjalan membawa baki kosong menuju pak gubernur yang dimana sebagai pembina upacara pada saat itu sudah memegang sang merah putih yang masih terlipat sangat rapi yang membuatku benar-benar merasa bangga dan senang bisa berdiri tepat dihadapan Bapak Gubernur. Sungguh perasaan saat itu benar-benar hal yang membanggakan. Setelah itu, aku berjalan membawa bendera ke depan tiang bendera.

Aku dan kedua temanku lainnya mengikat bendera merah putih dengan tali dengan baik dan teliti. Setelah itu, mulailah sedikit demi sedikit Sang Merah Putih naik pada tiang bendera, dengan rasa hormat ku pandang bendera itu. Aku ingat bagaimana perjuanganku untuk sampai di titik ini. Terlintas juga dibenakku bagaimana para pahlawan yang berjuang untuk mengibarkan bendera merah putih di ujung tiang tertinggi. Teringat juga bagaimana dulu ayahku yang berjuang untuk melindungi negara ini, bahkan rela mengorbankan hidupnya membuatku percaya bahwa ayahku diatas sana juga melihat hal ini dan pasti bangga kepadaku. Tanpa ku sadari tetesan air mata mulai jatuh yang membuatku merasa terharu dan bangga bisa mengibarkan bendera dihadapan banyak para pejabat dan petinggi negara ini. Sungguh kejadian saat itu tak akan ku lupakan dalam hidupku. Ku lihat ibuku yang juga terlihat sangat bangga padaku sambil mengusap mata yang menandakan ibuku juga ikut menangis. Aku senang ternyata aku bisa membanggakan ibuku. Aku senang karena aku berhasil menunjukkan bahwa pasukan paskibra adalah hal yang membanggakan.

Jayalah Indonesiaku.

Dirgahayu Republik Indonesia ke-77 tahun.

Penulis : Letareana Agusti Nababan – Biologi 2021

Cerpen : Sudahkah Semua Merdeka? Oleh Ria Oktaviany

 SUDAHKAH SEMUA MERDEKA?


Cakrawala terasa lebih terang dari biasanya. Sinar mentari pun terasa lebih menyengat, namun anehnya panas tersebut justru terasa menyegarkan hingga ke tulang. Tidak diragukan lagi, desa memang tempat terbaik untuk memulihkan tenaga lewat kekuatan semesta yang tidak mungkin didapatkan di kota yang penuh dengan debu dan polusi. Meskipun dengan kehangatan dan pesona alam desa, melakukan tugas mulia di desa bukanlah mimpi semua orang. 

Afrin mengalami kesulitan ekonomi namun ia tetap berusaha untuk kuliah. Alih-alih mendapatkan pelajaran berharga di kampus, ia malah turun ke desa menghabiskan biaya yang cukup besar untuk biaya hidup dan biaya untuk pengembangan desa sedangkan ia tidak mendapat pemasukan apa-apa. Karena harus ke desa, Afrin pun tidak dapat melakukan pekerjaannya. Gaji yang diterimanya sebagai pegawai part time di minimarket selama 1 tahun belakangan harus ia sisihkan untuk biaya KKN dan biaya sekolah adik-adiknya. 

“Apakah ini sebanding?” Pertanyaan itu terus muncul di benaknya tiap malam hingga membuatnya kesulitan tidur. 

“Ampun Pa, ampun” Suara yang tadinya samar-samar mulai terdengar lebih jelas membuyarkan lamunan Afrin. 

Teman-teman sekelompoknya yang lain sudah tidur dan hanya ia yang masih terjaga. Afrin ragu apakah suara ini benar-benar nyata atau hanya ilusi semata karena pikiran yang membuat Afrin hampir setengah gila tadi. 

Ia pun menyingkap gorden jendela sedikit untuk mengintip ke luar. Ternyata suara itu benar-benar nyata. Afrin melihat seorang bocah yang berlarian di bawah gelapnya malam dengan raut wajah ketakutan. Meski tidak bisa melihat dengan jelas, ia bisa melihat bahwa ia sedang dikejar-kejar oleh seorang laki-laki berbadan tegap. 

“Pa? Apakah itu ayahnya?” pikirnya lagi. Suara itu sudah mulai hilang seiring dengan semakin jauhnya anak itu berlari. Ia tidak berani mendatangi anak itu seorang diri di tengah gelapnya malam seperti ini. Lagi pula tak ada masyarakat desa lain yang keluar, mungkin hal itu memang biasa terjadi atau mungkin memang hanya ilusi semata melihat teman-teman Afrin yang sama sekali tidak terganggu tidurnya oleh suara itu. 

Sudahlah, lagi pula bukan urusan Afrin. Lebih baik ia tidur sekarang, masih ada agenda kegiatan besar yang harus dilaksanakan besok. Mengingat besok adalah hari kemerdekaan Indonesia, banyak hal yang harus dilakukan jadi ia harus bisa bangun lebih awal. 

Satu-satunya hal yang disyukuri Afrin selama KKN adalah melihat antusias anak-anak desa di setiap kegiatan yang dilakukan oleh kelompoknya. Namun tentu saja, kebahagiaan itu tidak sebanding dengan gaji yang harus ia ikhaskan selama beberapa bulan ke depan karena tidak bekerja. Selepas KKN ia harus kembali menghadapi realita hidupnya dan memutar otak mencari pekerjaan dalam waktu dekat. 

Di tengah riuhnya suasana lomba tujuh belasan, ada seorang bocah laki-laki yang mengintip dari balik tiang. Tidak seperti anak-anak lain, ia hanya sendiri. Tidak ditemani orang tua ataupun teman-teman sebayanya. Hal itu menarik perhatian Afrin dan ia pun menghampirinya. Siapa tau anak tersebut ingin ikut bermain duganya. 

“Dek, mau ikut lomba? Ayo sini,” ajak Afrin sambal mendekati anak tersebut. 

Tanpa diduga anak tersebut justru berlari menghindari kerumunan. Penasaran, Afrin pun mengikuti anak tersebut. Akhirnya, bocah tersebut berhenti di jembatan penghubung desa lokasi Afrin KKN dengan desa tetangga. Hanya mereka berdua yang ada disitu karena seluruh masyarakat desa menghadiri acara tujuh belasan yang dibuat oleh kelompoknya. 

Meski bocah tersebut membelakangi Afrin, Ia bisa melihat dengan jelas bahwa kaki dan tangannya dipenuhi dengan lebam. Ada yang baru, namun ada juga seperti lebam yang sudah lama karena berwarna ungu kehitaman. Pikirannya kembali melayang ke peristiwa tadi malam. 

“Apa adik ini adalah bocah tadi malam yang berteriak minta ampun?” pikirnya dalam hati. 

“Dik, kaki sama tangan kamu kenapa?” tanya Afrin memberanikan diri. Tampaknya bocah tersebut berusia sekitar tujuh atau delapan tahun. Bocah tersebut hanya diam. 

“Kamu kenapa gak ikut lomba kayak yang lain? Teman-teman kamu pada ikut lomba loh. Ayuk ikut, makin rame kan makin seru.” rayu Afrin.

“Mereka bukan temanku.” ucap bocah tersebut singkat.

“Kok bilang begitu. Kamu SD kelas berapa? Kan kamu anak desa sini kan, pasti di sekolah yang sama. Kan SD-nya cuma satu.” jelas Afrin.

“Aku gak sekolah.”

Pernyataan tersebut membuat Afrin terdiam. Ia selalu merasa iba melihat kondisi seperti ini. Melihat anak-anak yang tidak bisa sekolah, melihat anak-anak yang harus mengamen di jalanan, melihat anak-anak yang harus tidur di bawah jembatan. Untuk apa merdeka jika anak-anak seperti mereka bahkan tidak dapat menikmati hak mereka sendiri. 

Tidak, ini bukti besar bahwa Indonesia belum merdeka. Masih jauh dari kata merdeka. Bukankah merdeka sendiri artinya kita bisa merdeka dari kemiskinan? Merdeka dari kebodohan? Dan merdeka dari kesengsaraan? Bahkan mereka belum dapat berlari dengan benar, namun mereka harus menanggung beban itu di bahu kecil mereka. 

Sementara anak-anak lain memegang gadget dengan harga puluhan juta, sedangkan bocah ini hanya untuk mendapatkan buku saja tidak bisa. Sungguh ironi. 

“Riel!” teriak seorang laki-laki dari desa sebelah. Sambil membawakan cangkul laki-laki itu berlari ke arah Afrin dan bocah laki-laki itu. 

“Sudah kubilang jangan main! Kerja di sawah! Lagi-lagi kau susah dibilangin! Nggak cukup kemaren sudah di hajar? Mau di hajar lagi?” teriak laki-laki itu mendekati mereka sembari meminum seteguk alcohol yang sudah tampak hampir habis di tangannya. 

“Kak, bantu aku. Aku gak mau di pukul Papa lagi. Aku mau sekolah kayak anak-anak lain, aku mau main sama teman-teman, bukannya di pukul Papa terus. Bantu aku Kak,” mohon bocah tersebut kepada Afrin. 

Afrin sendiri tidak tau harus apa, tentu ia tidak akan menang melawan ayah bocah ini. Berbicara baik-baik? Ah, sepertinya itu tidak akan berhasil. Satu-satunya cara saat ini adalah lari. Lari mencari tempat ramai. Ia benar mereka harus lari. 

Tanpa aba-aba, Afrin meraih tangan bocah laki-laki yang mungkin namanya Riel seperti yang disebutkan laki-laki tadi dan berlari. Mencoba sedikit peruntungan, Afrin berteriak minta tolong. Berharap ada seseorang yang mendengarkan. Melihat Afrin dan Riel berlari, laki-laki tersebut ikut mengejar mereka. 

“Aku Papanya! Berani sekali kau bawa anakku kabur!” marah laki-laki itu kepada Afrin sambal berlari. 

“Anda memang Ayahnya, tapi bukan berarti ia milik Anda yang bisa dipukul terus!” balas Afrin sambil terus berlari menjauhi laki-laki berbadan tegap itu. 

Sementara mereka beradu argumen, bocah laki-laki itu hanya terus berlari sambil menangis ketakutan. Sekejam apakah perlakuan Ayah bocah ini sampai ia bisa memasang wajah ketakutan seperti itu? Afrin tidak dapat membayangkan kehidupan kelam bocah ini. Tubuhnya memiliki banyak luka, namun ia tetap terus berlari. Berharap akhir dari perjuangannya mencapai kemerdekaan untuk dirinya. Untuk luka-luka yang selama ini harus ditanggungnya. 

Afrin dan Riel bisa mencapai balai desa sebelum laki-laki tersebut. Mungkin karena pengaruh alcohol yang diminum oleh Ayah Riel membuat larinya tidak bisa secepat mereka. Afrin pun segera menemui kepala desa melaporkan hal ini. Ternyata seluruh masyarakat desa sudah mengetahui hal ini namun tidak ada yang berani membantu karena takut akan Ayah Riel. Ayahnya merupakan orang dengan gangguan jiwa yang kabur dari rumah sakit jiwa. Ia bahkan tak segan-segan melakukan hal ekstrim jika ada yang mengganggunya. Lagi pula mereka bukan masyarakat desa sini melainkan desa seberang.

Namun tetap saja, ini bukan hal yang harus didiamkan lalu berlalu begitu saja bukan? Ini menyangkut nyawa seseorang. Ini menyangkut masa depan bocah ini. Mungkin mereka benar, tidak bisa mencampuri urusan internal desa seberang atau keluarga Riel, namun ini sudah kelewatan!

Apakah mereka tidak memiliki mata melihat seluruh luka di tubuh Riel? Tidak adakah yang berani melapor polisi? Tidak, hal ini tidak boleh dibiarkan. Tidak ketika Afrin ada disini. Untuk apa kita merayakan hari kemerdekaan dengan begitu meriah dan begitu berwarna namun penderitaan anak bangsa seperti Riel tidak bisa kita perjuangkan? 

Merdeka? Omong kosong merdeka jika anak-anak tidak berdosa seperti Riel harus disiksa di bawah tangan ayahnya sendiri. Afrin membujuk kepala desa untuk membawa Riel ke kantor polisi dan mengamankan ayahnya. Dengan segala penjelasan yang diberikan Afrin akhirnya kepala desa menghantar mereka ke kantor polisi setempat. 

Teman-teman kelompok Afrin yang juga melaksanakan KKN di desa tersebut menghubungi dosen pembimbing lapangan dan menceritakan apa yang terjadi untuk meminta bantuan. Masyarakat yang berkumpul di balai desa untuk kegiatan lomba juga tetap dilaksanakan. Lebih baik mereka berkumpul ramai-ramai seperti ini saat Ayah Riel datang. Jika kemungkinan ayahnya mengamuk, ada banyak laki-laki yang bisa mengamankannya ketimbang mereka bersembunyi di rumah masing-masing. 

Akhirnya akar permasalahan pun dicabut. Ayah Riel diamankan oleh polisi dan akan diurus kelanjutannya. Ternyata ayahnya telah memakai narkoba semenjak kabur dari rumah sakit jiwa. Diagnosis penyakit Ayah Riel hingga pernah dirawat di rumah sakit jiwa Afrin tidak tau pasti. Kini yang ia tau sekarang, Riel telah aman di bawah perlindungan dinas pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak provinsi setempat. Meskipun Afrin tidak tau bagaimana nasib Riel ke depannya karena Riel sebatang kara, Afrin yakin Riel bisa melewatinya. 

Kemerdekaan itu sudah Riel dapatkan lewat semua perjuangan dan penderitaan yang ditanggungnya. Namun, hidup tidak hanya sebatas merdeka. Masih banyak yang harus dilakukan setelah kemerdekaan itu. Salah satunya, memerdekakan anak-anak lain yang masih belum merdeka seperti Riel dahulu. Memerdekakan mereka dari kebodohan, memerdekakan dari kemisikinan, dan memerdekakan mereka dari penderitaan.

Penulis : Ria Oktaviany – Ilmu Keperawatan 2019

Cerpen : Dialog Dini Hari Oleh Hida Al Maida Pangaribuan

DIALOG DINI HARI
 

Sekala hampir tak pernah melihat Jingga tersenyum, marah, menangis, atau bahkan kecewa. Hampir dua puluh tahun menjadi tetangganya, ekspresi yang dilihat Sekala selalu sama; datar. Entah itu ketika Mamanya membuang seluruh alat lukisnya ke tempat sampah, ketika lagi-lagi dirinya mendapat peringkat pertama dari seluruh siswa, atau ketika anak-anak komplek mengejek tubuh kecilnya. Mungkin Sekala pernah melihatnya saat mereka kecil, tetapi sudah lupa saking lamanya.

Katakanlah Jingga introvert.

Namun, sikap orang-orang introvert yang dikenal Sekala tidak sampai separah Jingga. Misalnya saja, Sheina, kakak Sekala yang kuliah di jurusan hukum. Hampir tak ada satupun orang yang mengakui Sheina ramah karena sikap introvertnya. Bahkan Sekala yakin, hanya segelintir orang yang mengenal kakaknya. Meski begitu, Sheina bisa mengamuk ketika komik One Piece milik Sekala menyelip di rak buku-bukunya yang disusun berdasarkan abjad. Sheina masih bisa tertawa ketika Sekala melempar guyonan receh agar dipinjami motor. Bahkan, Sheina kedapatan menangis ketika mereka menonton film Miracle in Cell No 7.

Sebenarnya, jenis manusia seperti apa Jingga?

Ah, andai Sekala tidak mewarisi jiwa “kepo berlebih” dari ayahnya, tentu perkara Jingga tidak akan membuatnya sampai pening kepala.

“Jangan-jangan dia hantu.” Pernah Sekala bergumam ketika melihat Jingga sedang membaca buku di balkon kamarnya, berhadapan dengan balkon rumah Sekala. Namun, Sekala juga membantah. “Gak mungkin hantu. Mana ada hantu secantik Jingga. Kalau ada, cowok-cowok pasti protes karena peluang mereka dapat jodoh jadi makin kecil,” katanya.

Hingga akhirnya, Sheina datang bak Dewi dan berujar sok tahu pada Sekala. “Kalau cuma dilihatin dari jauh, kamu gak akan tahu apa-apa, Kal. Rasa suka berkedok kepo yang kamu rasakan itu akan makin ganas ke depannya kalau kamu gak mengambil tindakan,” petuah Sheina saat itu.

Barangkali, petuah dari Sheina itulah yang membawa Sekala ke lapangan basket di ujung komplek pada waktu dini hari. Selama seminggu penuh Sekala mengumpulkan keberanian untuk melakukannya. Seminggu penuh pula Sekala memperkuat pengamatannya terhadap balkon kamar di seberang rumahnya itu.

Dan ....

“Tuh, kan! Benar!” Sekala menghembuskan nafas lega setelah menemukan apa yang dia cari, Jingga. Gadis itu duduk sendiri di kursi kayu yang berada tepat di bawah lampu. Di depannya ada steger yang lengkap dengan kanvas.

“Orang gila jenis apa sih, yang datang ke lapangan basket tengah malam begini?” rutuk Sekala. Tanpa meminta persetujuan, dia duduk di sebelah Jingga. Menatap lukisan setengah jadi milik gadis itu dengan tatapan menilai.

Pertanyaan pertamanya tidak mendapat sahutan dari Jingga. Gadis itu kembali fokus pada kanvas, dan palet lukis di tangannya. Dia bahkan tak menoleh sedikitpun.

“Dengar ya, Jingga! Aku cukup pemberani untuk kamu takut-takuti dengan pura-pura jadi hantu dan gak melihat keberadaanku,” cetus Sekala lagi. Kali ini juga sama, Jingga tak menyahut atau hanya menoleh padanya. Sekala sampai kesal sendiri karenanya. Kalau saja dia tahu respon sedingin inilah yang akan diberikan gadis itu, tentu Sekala tak akan repot-repot menghampirinya tengah malam begini.

Sekala berdecak. “Andai aja ada pasal yang mengatur tentang tindakan mencurigakan yang tidak menyenangkan, pasti kamu udah dipidana, Jingga. Tindakan kamu ini, diam-diam menyelinap tengah malam dan menggunakan fasili—“

“Pasal 318 KHUP ayat 1, barangsiapa dengan sesuatu perbuatan sengaja menimbulkan secara palsu persangkaan terhadap seseorang bahwa dia melakukan suatu perbuatan pidana, diancam karena menimbulkan persangkaan palsu, dengan pidana penjara paling lama empat tahun,” sela Jingga.

Untuk pertama kali setelah sekian lama, akhirnya Sekala mendengar suaranya lagi. Suara bernada rendah yang tidak berat. Sayangnya, Sekala terlalu lama untuk bangkit dari rasa terkejutnya.

“Jangan main-main dengan hukum kalau kamu gak mau rasa penasaran kamu berujung bui. Sayang uang orang tua, alih-alih lulus strata satu manajemen, kamu bisa masuk penjara karena sok tahu.” Jingga melanjutkan. Gadis itu menoleh sekejap pada Sekala dengan tatapan seperti biasa—dingin, datar, dan tak bersahabat—sebelum kembali lanjut melukis.

“Wah, kamu bahkan tau kalau aku kuliah jurusan manajemen, Jingga.”

“Papa kamu pria berisik yang suka membangga-banggakan anaknya pada tetangga. Cih, mirip seseorang.” Di akhir kalimatnya, Jingga memelankan suara sampai Sekala tak bisa mendengarnya dengan jelas.

Sekala mencebik sebal. Benar dugaannya, meski berwajah datar dan seolah tak bisa merasakan apapun jenis perasaan apapun di dunia ini, Jingga pasti tipe gadis bermulut sarkas yang suka melemahkan mental seseorang. Sekala tak heran jika dia diterima dengan tangan terbuka di fakultas hukum.

Namun, daripada mendebat Jingga dengan hasil yang sudah pasti kalah, Sekala malah mengembalikan tujuan awalnya datang ke lapangan basket tengah malam begini. “Apa yang kamu lakuin di sini sendirian, Jingga? Selalu tengah malam?”

Masih sibuk dengan lukisannya, Jingga menyahut sekenanya. “Kamu punya mata untuk melihat, kan?”

“Argh! Ngomong sama kamu memang butuh kesabaran ekstra rupanya. Oke, jawab ini aja. Kenapa harus tengah malam? Dan kenapa harus di lapangan basket yang sepi? Kamu gak takut?”

Jingga bergeming, awalnya. Lalu kuas catnya dikembalikan ke palet dengan gerakan pelan. “Tengah malam itu sepi. Gak akan ada yang tahu aku melukis di sini, kecuali tetangga depan rumahku yang suka memata-mataiku dari balkon rumahnya. Walaupun kamu agak menyebalkan dan mirip Om Satria, kupikir kamu gak akan selancang itu untuk ngomong ke siapapun tentang kebiasaanku ini.”

“Kamu tahu semua itu, Jingga?”

“Kalau mau menguntit atau memata-matai seseorang, ada baiknya kamu menonton film luar negeri. Gerak-gerik kamu terlalu terbaca.”

“Terus kenapa kamu gak pernah berniat menegur, Jingga?”

“Karena itu gak penting. Udahlah! Sekarang kamu sudah tahu, jadi tolong jangan bicara ke siapa-siapa, khususnya orang tuaku.”

Sekala tak lantas menimpali. Pun dengan Jingga yang kembali berkutat dengan lukisannya. Ini agak aneh, sebenarnya. Bukan karena Jingga tahu bahwa dia kerap memerhatikan gadis itu, melainkan keluasannya untuk bicara dengan Sekala. Padahal Sekala sudah mempersiapkan diri untuk diusir. Namun setidaknya, perlakuan Jingga menjawab satu pertanyaan besar di kepala Sekala.

Bahwa nyatanya, Jingga juga manusia. Jingga memiliki tingkat kepekaan tinggi terhadap sekitarnya meski gadis itu tak pernah bisa mengekspresikannya dengan baik. Setidaknya itulah yang dilihat Sekala. Perhatian Sekala lalu teralih pada bendera-bendera kecil di sekitar lapangan basket. HUT RI ke-77 tinggal menghitung hari. Pasti akan ada banyak perlombaan di kompleknya.

“Kamu gak tertarik untuk ikut salah satu, Jingga?” tanya Sekala. Dia sudah memutuskan akan pulang jika Jingga juga pulang.

“Apa?” sahut Jingga tanpa menoleh.

“Lomba 17-an. Kamu gak tertarik ikut?”

“Lomba 17-an hanya diikuti orang-orang yang merdeka, Sekala. Orang-orang yang merdeka, atau orang-orang yang tidak sadar bahwa mereka masih terpenjara tepatnya.”

“Apa maksudnya?”

“Merdeka itu artinya bebas, Sekala. Bebas untuk berdiri sendiri, tidak terkena tuntutan, lepas dari tuntutan, tidak terikat, dan tidak berada di bawah kendali pihak tertentu. Jadi jika kamu masih berada di antara hal-hal yang aku sebutkan, berarti kamu belum merdeka.”

Sekala mengerti. Namun untuk beberapa saat, dia tak berniat menimpali. Laki-laki itu malah memusatkan atensi pada lukisan Jingga yang hampir selesai, pada wajah tanpa ekspresinya, dan pada matanya yang kelam. Barangkali, Jingga memang sedang membicarakan dirinya sendiri.

Jingga tidak merdeka. Bahkan Sekala saja tahu itu. Sekala tahu ketika Ibu Jingga membuang seluruh alat-alat lukisnya, Sekala tahu ketika gadis itu tak pernah tersenyum atas segala pencapaiannya, dan Sekala bisa tahu dari kebiasaan aneh gadis itu di tengah malam.

“Kamu pasti sudah tahu, Sekala. Kita memang gak pernah berteman akrab. Tidak pernah mengobrol lebih banyak dari ini meski kita pernah sekelas selama enam tahun. Tapi aku yakin kamu tahu apa yang kumaksud,” imbuh Jingga membenarkan dugaan-dugaan Sekala.

“Berarti ... bukankah kamu sedang bergerilya? Dengan ada di sini, berarti kamu sedang bergerilya, Jingga. Suatu saat kamu akan menang.”

“Perang itu tentang kalah dan menang, Sekala. Walaupun aku bergerilya di sini, gak ada yang menjamin jika aku akan menang. Kemungkinan besarnya malah aku akan gugur. Aku sekarat untuk bisa menjadi pemenang. Bertahun-tahun aku di penjara dalam frasa ‘membalas budi baik orang tua’. Nggak sulit kan untuk kamu menduganya?”

Tentu saja. Sekala mengangguk. “Tapi kemerdekaan itu hak semua orang, Jingga. Kamu berhak merdeka. Kamu berhak menolak hal-hal yang tidak kamu inginkan dan menyakiti kamu.”

“Semuanya sudah terasa biasa aja, Sekala. Seperti yang kubilang, aku terpenjara, dan aku terbiasa. Tidak ada luka yang sangat menyakitiku, juga tak ada bahagia yang sangat membahagiakanku.”

“Pantas kamu seperti sekarang. Bernyawa, pasti gak memiliki rasa.”

Jingga membenarkannya sebelum memokuskan kembali perhatian pada lukisannya yang hampir jadi. Lukisan langit malam dengan banyak bintang dan bulan sabit yang redup. Sekala menjadi orang pertama yang mengomentari lukisannya setelah banyak lukisan yang dia buat. Juga orang pertama yang pernah melihatnya melukis, barangkali.

“Seharusnya kamu jadi pelukis saja, Jingga,” komentar Sekala. “Lukisan kamu lebih bagus dari gaya bicara kamu yang sarkas.”

“Ya, andai ayah dan ibuku tidak tergila-gila pada hukum, pasti aku sudah menjadi pelukis, Sekala. Tapi seperti yang kamu lihat, aku tidak merdeka.”

Lalu, bukankah itu tidak adil. Papa Sekala selalu mengatakan nasehat serupa padanya. Bahwa seorang anak bukanlah investasi orang tua. Seorang anak bebas memilih jalan yang ingin dijalaninya, selagi itu baik dan tidak bertentangan dengan agama dan negara. Perasaan iba menyentil Sekala. Jingga seharusnya mendapatkan hal yang sama. Jingga seharunys juga merdeka, sama sepertinya.

“Kalau begitu, kamu juga harus merdeka, Jingga,” cetus Sekala berapi-api. “Jangan mau belajar hukum kalau kamu pengen jadi pelukis. Jangan diam saja ketika Ibumu membuang seluruh alat lukismu. Teriaki anak-anak yang mengejek kamu, dan lempar hasil ujian hukum kamu yang memuaskan itu.”

Jingga menoleh padanya. Ekspresinya masih sama meski binar matanya berubah sendu.

Sekala melanjutkan ucapannya lagi setelah itu. Dibanding Jingga, justru laki-laki itulah yang tampak lebih bersemangat untuk memerdekakan diri Jingga. “Jangan mau terpenjara. Indonesia yang seluas ini aja bisa merdeka, masa kamu yang sekecil ini nggak? Kamu harus bebas. Gak hanya tentang mimpi, tapi segalanya. Bebaskan mimpi kamu dan diri kamu sendiri. Jangan cuma diam dan menerima. Kamu bukan robot, Jingga. Kalau kamu sedih, ya menangis saja. Kalau mau marah, teriak, lempar barang, asal gak menyakiti orang lain. Begitu juga kalau kamu lagi bahagia, ketawa aja yang lepas. Hidup ini cuma sekali, Jingga. Sayang sekali kalau cuma kamu habiskan untuk menerima dikte dari orang lain. Hidup kamu, itu milik kamu. Lakukan apa yang kamu mau, yang membuat kamu merasa berada di jalan yang tepat.”

Dan, untuk kali pertama setelah sekian lama, Sekala akhirnya melihat Jingga tersenyum kembali. Meski hanya kecil dan kentara menyimpan kepedihan, Sekala akhirnya melihat semangat memerdekakan diri di dalam diri Jingga. Mata gadis itu bahkan berkaca-kaca ketika mengucap terima kasih padanya.

“Andai kamu datang lebih cepat, aku mungkin sudah menyiapkan gerakan besar untuk merebut kemerdekaanku sejak lama, Sekala.”

Penulis : Hida Al Maida Pangaribuan - Sastra Indonesia 2021

Kategori

Subscribe Us On youtube

Follow Us On fan Fage Facebook

Kategori

Follow Us On Instagram

View this post on Instagram

[Pedoman KIP Kuliah 2020] -----------------------* INFO PENTING * -------------------------- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyatakan pendaftaran Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah sudah dibuka pada 2 Maret hingga 31 Oktober 2020. Catat dan ingat tanggalnya. Bagi kamu lulusan SMA/SMK/MA/sederajat baik tahun 2020,2019 ataupun 2018, > Baca langsung pedoman KIP KULIAH dibawah ini, sebagai landasan dalam pendaftaran KIP KULIAH tahun 2020 : https://kip-kuliah.kemdikbud.go.id/panduan > segera daftarkan dirimu pada laman berikut : https://kip-kuliah.kemdikbud.go.id/ Sumber: kip-kuliah.kemdikbud.go.id . . . @gamadiksiusu @Permadanidiksinasional @Kemdikbud.ri -------------------- -------------------- Akun Resmi UKM Keluarga Mahasiswa Bidikmisi Universitas Sumatera Utara Periode 2020-2021 Dikelola oleh Divisi Komunikasi dan Informasi GAMADIKSI USU -------------------- UKM GAMADIKSI USU 2020-2021 Ketua Umum : Martinus Putra Antara Sipangkar Sekretaris Umum : Putri Aqila -------------------- Facebook : GAMADIKSI USU Instagram : @gamadiksiusu Email : gamadiksiusu2019@gmail.com Youtube : gamadiksi USU Narahubung Martin : 082276713576 (WA) Waska : 082167570787 (WA) -------------------- #kominfo #gamadiksiusu #bersamabisaluarbiasa #pengurusbarugamadiksiusu #bidikmisi#kipkuliah #alumnibidikmisi#kip #MerdekaBelajar #SNMPTN2020 #KIPKULIAH #Perguruantinggi #SahabatKIP #KIPKULIAH #InfoKIP #CalonMahasiswa #Sma #Smk #Ma #Bidikmisi

A post shared by GAMADIKSI USU (@gamadiksiusu) on