GORESAN KISAH ANAK PEREMPUAN
Oleh : Wildatul Jannah*
Aku bukanlah seseorang yang terlahir
memiliki kelebihan, aku tidak pula terlahir dari keluarga berlebih. Aku
terlahir dari sebuah rancangan rumah tangga yang disusun seorang pria dan
wanita yang menjalin percintaan pada masa-masa indah mereka.
Pria dan wanita itulah yang menjadi
kedua orangtuaku sekarang, aku ingin menjadikan mereka orangtuaku sekarang,
besok dan selamanya.
Ayah, begitu sebutanku untuk pria
itu. Ayahku hanya seorang ahli listrik, tapi kupikir belum bisa disebut seorang
ahli. Kalau disebut pandai besi tapi kupikir juga belum bisa disebut pengukir
besi sejati. Lebih tepatnya ia adalah seorang wiraswasta yang bergerak di
bidang listrik dan besi.
Pria itu memiliki 5 pejantan tangguh
dan 2 gadis kecil yang akan tumbuh dewasa. Aku pikir setiap orang
memiliki mimpi dan cita-cita, dan kami adalah bagian dari sebagian orang yang
memiliki mimpi dan cita-cita itu . Satu dari ribuan mimpi itu adalah
membahagiakan pria dan wanita itu.
Satu nama wanita yang tercetak di
mimpi dan cita-citaku adalah sesosok wanita dengan ketulusan dan keikhlasan
yang begitu besar, yang tak pernah menghitung ribuan tetes keringat yang ia
keluarkan, tak pernah menghitung ribuan detik waktu yang ia habiskan, wanita
yang tak pernah mengeluh dengan beribu kesibukan yang kuciptakan.
Ibu, nama itu yang kulukiskan dalam
mimpi dan cita-citaku. Saat tangan sudah mampu menggenggam, ingin rasanya kugenggam
dunia ini dan ku persembahkan untuknya.
“Ibu, aku mau memberikan seluruh
dunia dan isinya kepadamu, apakah engkau mau?’
“Ibu mau, Nak... Ibu mau itu. Namun
ibu tak mau menikmatinya sendirian, genggamlah dunia ini kita akan menikmatinya
bersama-sama, Nak”
“Itu sebuah harapan atau sebuah
perintah?” tanyaku dalam hatiku.
Apapun itu yang terpenting adalah
bagaimana caraku menaklukkan dunia ini.
Aku mengawali pendidikan di bangku sekolah dasar, aku mulai terombang-ambing dengan cita cita yang sering
di lontarkan temanku.
“Kamu mau jadi apa nanti kalau sudah
besar?” tanya seorang temanku.
“Aku pikir aku mau jadi dokter aja deh, kan
keren pakai baju putih-putih, lagian bisa bantu orang ngobatin penyakit lagi,”
jawabku dengan yakin.
“Bagus juga sih cita-cita kamu, tapi
gak cuma dokter kok yang pake baju putih-putih, kita juga nih,” sambut temanku
diiringi dengan tawanya.
” Hahahaha iya juga ya” sambutku
dengan tawa. Tapi candaan temanku tak menggoyahkan cita-citaku, aku masih
menanam mimpi untuk menjadi seorang dokter. Hari berlalu tahun berganti, aku
masih tetap pada pendirian dan cita-citaku, hingga pada akhirnya aku mulai
masuk pada tingkat pendidikan Sekolah Menengah Atas. Disini cita-citaku
berubah, menjadi dokter bukanlah satu keinginan yang kuat lagi. Kupikir
perjalanan pendidikan ku akan lancar seperti sebelumnya, ternyata tidak.
Kondisi dan situasi sekarang sangat berbeda, ternyata dunia tak semudah
bayanganku, tak segampang teori yang kuciptakan untuk menggenggamnya.
Setiap pagi aku diantarkan Ayah ke sekolah, tak jarang ku dapati raut wajah
keletihan dalam dirinya karena setiap pagi harus berteman dengan dinginnya
hari. Jarak rumahku dengan sekolah cukup jauh, bisa ditempuh sekitar setengah
jam jika menggunakan kendaraan umum dan mengeluarkan biaya yang cukup banyak.
Itulah salah satu alasan yang menyebabkan mengapa Ayahku setiap hari
mengantarkanku. Hingga suatu hari, saat itu kondisi ekonomi kami sangat tidak
menentu, uang yang dimiliki orangtuaku pun tak cukup dibagikan kepada kami
seperti biasanya, jatah uang saku pun dikurangi. Seperti biasa, aku masih tetap
diantar Ayahku, hingga pada di tengah perjalanan, aku tak tau entah apa yang
menyebabkan kendaraan Ayahku mulai tidak seimbang dan kecepatannya melambat.
“Kenapa, Yah?” tanyaku.
“Ayah juga enggak tau, kita berhenti
sebentar ya,” jawab Ayahku dengan nada rendah dan ekspresi rasa bersalah.
Ayahku meminggirkan kendaraannya,
dia melihat keadaannya, ternyata ban belakang bocor.
“Bannya bocor,” katanya dengan nada lirih.
Sebenarnya tanpa Ayah katakan aku
sudah melihat keadaan itu, tapi seolah aku tak tau, ku biarkan bibir bijaksana
itu yang menyampaikan kepadaku. Aku tak menjawab perkataan Ayah, aku hanya
terdiam.
“Ayo, naik aja lagi, ini gak kenapa-kenapa,
masih bisa jalan sampai sekolah,” kata Ayah meyakinkanku.
Aku masih tanpa kata, kugerakkan tubuhku
menaiki kendaraan.
Kami masih terus berjalan dengan keadaan kendaraan yang sangat menakutkan, aku
tahu mengapa Ayahku memaksakan untuk tetap mengantarku. Hingga sampai pada
suatu jalan, kendaraannya hampir tak dapat bergerak lagi.
“Sudahlah Ayah, aku sampai sini aja,
biar disambung naik angkot aja” Aku memohon dengan nada kesal.
“Ongkosnya ada?” tanyanya ragu.
“Ada, Yah” dengan mata berkaca-kaca
kulanjutkan perjalananku dengan kendaraan umum, terkadang aku tidak ikhlas
merelakan uang jajan ku untuk biaya transportasi ini. Untuk jajan saja belum
cukup, ini malah dikurangi untuk ongkos. Terkadang aku iri melihat anak-anak
lain yang mampu membeli jajan sesuka hati tanpa pernah memikirkan untuk
kebutuhan mereka yang lain. Sedangkan aku harus memasang kalkulator di otakku,
setiap mau mengeluarkan uang. Jika kalkulator itu lalai maka hancurlah aku esok
hari.
Selama 3 tahun kurasakan pedihnya pendidikan, api semangat ku redup berkobar,
semangatku naik turun dan tak luput dari rasa malas dan bosan pun selalu
mengiringi langkahku. Tapi aku sadar aku bukan anak orang kaya yang di saat aku
meminta akan diberi, dan saat aku mengeluh akan dirayu. Aku hanyalah seorang anak yang
memiliki mimpi sama seperti anak lainnya. Kesulitan makin kurasakan saat
akhir-akhir pendidikan ku di SMA, semua siswa diwajibkan memilih perguruan
tinggi. Aku mulai bingung, bukan karena memilih perguruan tinggi, tapi aku
bingung bagaimana aku untuk melanjutkan pendidikanku? Aku tahu biaya pendidikan
itu tidak sedikit, aku tak tega meminta kepada orang tuaku .
Suatu saat aku mendengar ada beasiswa
yang dapat menanggung uang kuliah dan memberikan uang saku selama masa
pendidikanku di perguruan tinggi nanti. Kucoba untuk mendaftar beasiswa itu,
tak jarang aku terkena omelan-omelan yang kuanggap menurunkan harga diriku,
tapi kutepis itu semua. Kututup mata dan telingaku tentang itu, kubiarkan
mereka menurunkan harga diriku dengan kemiskinan yang kumiliki sekarang. Tapi
aku berjanji dalam
hati suatu saat akulah yang akan membantu kalian dan negara yang kalian cintai
ini. Kalian akan menemui aku bukan sebagai siswa miskin yang berharap belas
kasihan kalian, tapi aku akan jadi Menteri Keuangan yang berjasa untuk negara
kalian ini. Bukan hal yang mudah untuk mendapatkannya, aku harus melalui proses
yang begitu panjang. Berulang kali aku dimarahi karena kebodohan dan ketidaktahuanku tapi aku tak pernah peduli
dengan itu. Yang aku mau kelulusan dan kesuksesan di masa depan. Semua berlalu,
proses pendaftaran pun selesai hingga tibalah pengumuman. Akhirnya aku menikmati kelulusan
itu, aku terpilih menjadi mahasiswa BIDIKMISI jurusan Ekonomi Pembangunan
fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara, terbayar rasanya
keletihan yang dahulu itu, sekarang tinggal bagaimana aku mempertahankannya.
Masa perkuliahan pun dimulai, aku
mulai menjalani hidup yang berbeda dengan sebelumnya, hidup dimana semuanya
harus serba sendiri, saat kesendirian itu hadir terkadang aku berpikir untuk
berhenti di jalan juang ini, tapi ada cita-cita yang harus dicapai disini dan
aku harus masih melanjutkan semua ini. Beasiswa itu sangat membantuku,
meringankan beban keluargku. Saat jauh dari mereka seperti sekarang ini, baru
terasa arti kehidupan sesungguhnya. Hidup dimana aku harus berpikir apa yang
akan ku makan untuk besok hari, berpikir bagaimana membagi uang saku yang telah
diberi. Tak jarang aku terkadang sampai memutar kepala untuk membagi uang yang
ada padaku. Aku tak jauh berbeda dengan anak-anak yang lain, anak-anak yang masih
mau menghabiskan masa-masa indahnya untuk jalan sana jalan sini, mencicipi
hal-hal yang baru, tapi aku tak sepenuhnya bisa berbuat seperti itu, aku harus
sadar aku hanyalah seorang mahasiswa yang hidup dari beasiswa.
Terlahir miskin itu takdir, tapi
hidup miskin itu pilihan.
Kemiskinan bukan untuk disesali tapi
untuk diubah, orang miskin itu bukan untuk dicaci tapi untuk digugah.
EmoticonEmoticon