Showing posts with label JILID I. Show all posts
Showing posts with label JILID I. Show all posts
AKU DAN PERJALANAN
HIDUPKU
Oleh :
Isronudin Hasibuan*
Pagi
itu, rumput-rumput masih berselimut embun, dan kupu-kupu pun masih enggan
keluar dari sarangnya. Saat itu juga kepala sekolah kembali menyiramkan seteguk penyemangat
menumbuhkan rasa keinginan untuk kuliah kepada kami yang seumur jagung lagi di
Pesantren itu. Sekolah yang terlihat berbeda jika dibandingkan dengan sekolah
yang lain pada umumnya. Dimana, aktivitas siswa/i di sekolah luar sana mungkin
terlihat lebih sibuk, galau, dan dilema untuk memilih jurusan dan Universitas
yang akan menjadi labuhan mereka menggarap ilmu dan menata masa depan. Sehingga
dalam segi usaha, mereka terlihat lebih belajar keras dan lebih antusias jika dibandingkan
dengan kami yang tinggal di pelosok desa ini, bahkan diantara mereka ada juga
yang menambahkan jadwal belajarnya seperti les-les di tempat bimbingan dan lain
sebagainya.
Sedangkan kami, berbalik 180 derajat. Status para siswi
di kelas kami bukan tak mungkin sudah dijodohkan orangtuanya kepada calon mantu
idaman, bahkan ada juga yang sudah mengikat janji dengan pacarnya akan dibawa
kemana hubungan itu. Lalu, bagaimana dengan para siswa di kelas kami? Mereka
juga pasti sudah memiliki rencana untuk merantau ke kota mana, dengan siapa,
sebagai apa dan lain sebagainya. Tapi masih ada juga sekelompok kecil dari
gerumunan teman-temanku yang membicarakan hendak kuliah dimana, jurusan apa dan
lain sebagainya yang mengacu tentang masa depan. Hmmm,, bagaimana dengan Aku?
Yeah pertanyaan itulah yang selalu menghantui setiap hariku, bertebaran dan
berotasi dalam pikiran ini. Aku belum berani mengayuhkan kayu perahuku, belum
berani hendak berlayar kemana, akan singgah di pulau mana, atau perahu ini
malah membuatku nyaman dan tak ingin meninggalkannya, Aku bingung dan tak
mengerti
“Kuliah?”
Kata-kata itu sekilas ikut berotasi dibenakku, pelengkap halilintar dan
turunnya hujan di sore itu, (hhmmm sambil menghembuskan nafas), yah kuliah
adalah sesuatu yang tidak mungkin untuk ku gapai, sesuatu yang tak akan pernah
berpihak kepadaku dan sesuatu yang tak mungkin dapat kucicipi. Jawaban itu
mengalir begitu saja, menandakan tak adanya peluang atau sekedar harapan untuk
diri ini dapat merasakan hidup seberuntung mereka. Itu semua sebab akibat dari
kemiskinan, kenapa tidak? Ibuku hanyalah seorang janda tua yang mengais rezeki
dari bercocok tanam, sedangkan kata Ayah adalah sebuah ungkapan yang Aku
sendiri lupa kapan terakhir memanggil kata itu. Diakibatkan Truk kejam yang menghantam tubuh yang mulai rapuh itu. Benar,
hanya butuh beberapa detik untuknya menghilangkan nyawa Ayahku, tapi butuh
seumur hidup bagiku melupakan peristiwa sekejap yang melintas di depan mata
itu. Walau saat itu Aku masih berumur 4 tahun namun harus belajar hidup ikhlas tanpa seorang Ayah disampingku,
tanpa seorang Ayah melengkapi liku-liku hidup yang akan ku tempuh hari ini,
besok dan selamanya. “Iya, tanpa seorang Ayah.”
Melihat
Ibu yang setiap harinya harus lebih bekerja keras untuk kelangsungan hidup kami
yang tersisa 3 orang lagi, sedangkan 4 saudaraku sudah berkeluarga. Terkadang
Ibu harus menjadi sosok seorang Ayah yang pekerja keras, seperti buruh,
berladang dan berjualan. Namun terkadang juga harus menjadi sosok seorang Ibu
yang lembut dan memanjakan kami. Semua peran itu dilakoninya untuk kelanjutan
hidup kami.
Oleh
karena itulah Aku mulai sangat giat dalam hal belajar, semenjak kelas 1 SD
sampai kelas 3 SMA Aku tak pernah terlepas dari 3 besar di kelas. Karena jujur,
Aku tak mau menjadi seperti Ibu, dan tidak mau selamanya seperti ini.
Namun
pupus sudah harapanku itu, ketika Aku sendiri bingung berlayar kemana. Aku juga
ingin seberuntung mereka, tapi Aku masih takut akan dunia perkuliahan, Aku
takut tidak bisa hidup di rantau orang nanti akibat kemiskinan yang masih setia
berpihak kepadaku dan perasaan takut ini juga bercampur rasa khawatir, khawatir
ketika nanti Aku harus merelakan mendayung perahu ini pergi meninggalkan Ibu
yang sudah tua renta, Aku takut…
Rasa
takut itu sedikit terkikis setelah Pak Huraba atau Kepala sekolah kami
menyampaikan keberadaan Bidik Misi, Beasiswa untuk orang-orang miskin dan
berprestasi, kini Aku tahu akan mendayung kemana perahu ini, Aku hanya perlu
mengkobarkan semangat dan kepercayaan diri untuk mencapainya. Tapi, keinginanku
malah bertolak belakang dengan harapan Ibu, jawabannya singkat, tapi tidak
sesuai dengan yang kuharapkan. Benar, saat itu Ibu berhasil mematahkan
semangatku. Kecewa pasti, namun Aku berusaha memahaminya.
Hingga
hari terakhirpun pendaftaran SNMPTN aku masih tidak berani mendaftarkan diri
dan memilih untuk menuruti Ibu saja. Tapi Pak Huraba tidak sependapat denganku
“Percuma kamu juara umum, percuma kamu siswa terbaik di sekolah kita, kamu
harus daftar! kalau masalah uang nanti kita bicarakan.” singkat memang, tapi
kata-kata itulah yang menerobos bilik-bilik hati yang terdalam, seperti hujan
di tengah kemarau, dan kata-kata itulah yang merubah paradigma dan hidupku saat
ini. Hari itu aku resmi jadi peserta SNMPTN 2013, Saat itu aku tidak tahu menau
masalah jurusan tapi kuturuti saja pilihan-pilihan Pak Huraba itu. Walau
perasaanku ibarat sambal terasi dicampur madu, rasanya tak menentu seperti
permen nano-nano, begitulah ada rasa senang namun dihalangi rasa khawatir dan
sedih, tapi Aku tetap maju dan akan tetap maju demi sebuah perubahan.
Bersama
waktu, berbagai peristiwa begitu cepat berlalu, menyingkap lembaran-lembaran
takdir hidupku satu-persatu. Kini
tibalah saatnya hari yang tak akan mungkin bisa dilupakan oleh semua orang yang
pernah bersua dengan hari ini. Dimana pada
hari ini, akan banyak buih-buih kesedihan atau puing-puing keceriaan.
Karena takdir yang akan ikut campur dalam hari ini. Aku juga begitu dengan
perasaan optimis Aku dan Ibu bergegas pergi ke sekolah untuk pengumuman kelulusan
siswa-siswi. Seusai pengumuman, Alhamdulillah Ibu sangat bahagia setelah
mengetahui Aku jadi lulusan terbaik di sekolahku. Aku bahagia bukan karena jadi
lulusan terbaik, tapi sangat bahagia melihat senyum yang begitu amat bersinar
dari Ibu, mengalahkan sinar mentari kala itu, “terimakasih Ibu”.
Sebahagiaan
orang masih tetap memancarkan kebahagiaannya lewat status “Alhamdulillah lulus
hukum USU”, tapi sebahagian lagi malah meredup, sambil berusaha mengikhlaskan
dan ada juga yang sudah menyebarkan surat undangan pernikahannya. Bagaimana
dengan Aku? Pertanyaan itu kembali
menghantuiku, dengan rasa penasaran akhirnya ku menuju warnet yang berjarak 1
km dari rumah. Dengan bismillah satu-persatu ku input nomor pendaftaran,
berharap kali ini keberuntungan itu akan berpihak kepadaku. Alhamdulillah ya
Rabb, sambil sujud syukur air mata menetes perlahan membasahi pipi. Ketika
mengetahui aku lulus sebagai pelamar beasiswa Bidik Misi di USU. Rasa senang
ada, rasa takut juga ada. Senang karena aku bisa jadi mahasiswa, takut karena
belum dapat restu dari Ibu.
Kini
saatnya kaki harus melangkah ke bus yang akan mengantar ke kota medan sana,
entah seperti apa medan itu, sekejam apa kehidupan disana, Aku tak mengerti.
karena pengalaman perdana di medan ini. Jujur rasa takut menghantuiku, tapi
karena ambisi dan semangat untuk bisa hidup seperti mereka, rasa takut itu terkikis dan mulai hilang bersama waktu.
Uang
yang terkumpul hasil dari kerja kerasku sebagai buruh di sebuah perkebunan
selama libur UN dulu, ditambah uang pemberian sanak saudara. Terkumpul
alhamdulillah sekitar tiga juta.
Menurutku sudah sangat cukup sebelum uang beasiswa keluar, namun belum rezeki mungkin, karena sebagian uang
itu hilang seusai membayar kos. keadaan itu memaksaku menjadi seorang waiters
di sebuah restoran sekitar kos. Dan beberapa bulan setelah Aku bekerja akhirnya
beasiswaku keluar dan langsung memutuskan untuk keluar dari pekerjaanku dan
lebih fokus pada tujuan utama yakni kuliah. Gaji terakhir ku belikan mukenah
untuk ibu, dan sisanya ku transfer untuk biaya makannya disana. Saat itu, Aku
merasa sangat senang seolah-olah kebahagiaan itu telah berpihak padaku.
Tapi
ternyata kebahagiaan itu tak bertahan lama, hidupku seketika itu juga kembali
runtuh, hancur tanpa berkeping-keping. Aku hampir depresi, putus asa, merasa
bodoh menghujat dan menyalahkan diri sendiri.
Semua
itu diawali dari pertemuan yang tak ku sengaja, namun mungkin disengaja oleh
nya. Yah, namanya Ahmad dari Ekonomi pembangunan stambuk 2012. Sepulang dari
kuliah dengan langkah tertatih sudah merasa tak sabar ingin bermanja-manja di
kos tercinta. Tapi ternyata ada pemuda setengah baya menghampiri dan langsung
menyapaku berketepatan di taman Birek USU. Tanpa ku ceritakan panjang lebar
lagi, pertemuan yang membuatku hampir putus asa itu langsung saja ku lanjutkan
ke intinya, yah intinya dia nenawarkanku pekerjaan, yang katanya bisa sukses
dalam 1 atau 2 tahun, yang katanya jalan-jalan ke luar negeri, kapal pesiar,
motor scoopy dan lain sebagainya sudah mengantri menunggu kita, tinggal kita
kapan mengambilnya, apalagi kalau bukan MLM? aku sangat tertarik dan
mengorbankan beasiswaku sebagai modal awal, karena statusku sebaga mahasiswa
baru, ditambah dengan kondisi keuangan yang memang mengharuskanku mencari
pekerjaan. Aku begitu antusias menjalaninya sehingga Aku mulai lalai dengan
tujuan awal ke Medan ini, disebabkan biusan uang dan rutinitas yang selalu
memelukku. IP semester awal lumayan buruk sehingga Aku memilih berhenti dari
pekerjaanku. dan masih banyak lagi faktor-faktor yang membuatku memlih mundur
dari pekerjaan itu. Tapi kujadikan semua itu sebagai pelajaran hidup dan
penambah pengalaman, agar kedepannya lebih berhati-hati.
Karena
uang beasiswa habis, Aku kembali bekerja namun kali ini bukan sebagai waiters lagi, tetapi sebagai
guru private Matematika di sebuah perumahan sekitar USU. Alhamdulillah tidak
lama mengajar di tempat itu, Aku langsung ditawarkan tinggal disana secara
cuma-cuma, gaji tetap dikasih 600.000/ bulan nya. Ternyata masih ada keluarga
sebaik ini di kota sekacau ini. Dan benar, dibalik kesulitan pasti ada
kemudahan dan ampai saat ini Aku begitu dekat dengan keluarga kaya raya dan
baik hati ini.
Hingga
sekarang Aku tetap mengajar private dari tempat yang satu ke tempat yang lain,
untuk membiayai dan bertahan hidup di kota orang ini. Sulit memang, ketika
kawan-kawan kita punya banyak waktu luang kita malah disibukkan mencari sesuap
nasi, Tapi bahagia itu kita yang ciptakan bersyukur solusi paling tepat untuk
mengurangi mengeluh. Tanamkanlah..! Bukan Aku tak seberuntung mereka tapi
mereka yang tak seberuntung Aku.
Cerita Inspiratid : BUKAN KALENG-KALENG Oleh : Malikatul Khamdiyah
BUKAN KALENG-KALENG
Oleh : Malikatul
Khamdiyah*
“Kejahatan terjadi bukan hanya karena niat
pelakunya, tetapi
karena ada kesempatan. Waspadalah…waspadalah…waspadalaaaaaah !” (Bang
Napi)
Kesempatan….
Kayaknya bukan cuma kejahatan yang bisa
terlaksana karena kesempatan. Aku percaya kalau hal - hal yang baik bisa
terjadi juga karena kesempatan. Kalimat sederhana dari Bang Napi yang dulu
setiap hari terdengar olehku seusai menyaksikan tayangan berita kriminal ini ku
anggap sepele dan tak berarti apapun. Sekedar angin yang berlalu, kosong
melompong, tak mempengaruhi apapun, meskipun terkadang menyegarkan jika menerpa
wajah yang sedang lelah.
Sekarang aku merasa bahwa kalimat
ini maknanya dalam juga. Kenapa bisa gitu ? ya karena pengalaman dan momen yang
tepat untuk mengartikan hal - hal yang tersirat ini. Bayangkan, bahkan niatpun
tak berarti apa - apa, tak berguna, jika tak ada kesempatan yang diberikan.
Kisah ini bermula ketika aku berada
di semester IV Studi Ilmu Administrasi Negara, Universitas Sumatera Utara. Aku
mengambil mata kuliah Administrasi Keuangan Negara dan setelah Ujian Tengah
Semester Sang Dosen menggunakan metode dimana mahasiswa diharuskan membuat
makalah dan melakukan presentasi dengan kelompoknya. Tibalah saatnya pemilihan
tema melalui undian, aku maju mewakili kelompokku dan aku mengambil satu
gulungan yang terdekat kemudian aku kembali menghampiri kelompok ku untuk
membuka gulungan kertas tersebut.
"
Apa tema kita?" Tanya Yeni dengan bersemangat.
"
Kemiskinan” , ucapku setelah membuka gulungan kertas undian tema.
"Yaaah,
luas kali lah pembahasannya nanti," Kata salah satu anggota kelompok kami
yang aku lupa namanya saat cerita ini ku tuliskan.
"Iyakan
ya ? Tukaran aja sama kelompoknya Ema. Dia dapet BPK (Badan Pemeriksa Keuangan).
Aku udah nguasain materi itu" Aku memberi saran.
Akhirnya kamipun menghampiri
kelompok Ema dan menyampaikan maksud dan tujuan kami, namun ternyata kami tidak
berhasil membujuk kelompok Ema. Akhirnya kami menerima kenyataan kalau bahasan
dari tema makalah kami sangat luas dan tidak ada habisnya bila dibahas nanti.
Harus berusaha membuat makalah yang terbaik, karena kelompok yang terbaik tidak
akan mengikuti Ujian Akhir Semester nantinya.
Dua hari berikutnya, kami mulai
berdiskusi mengenai judul dan studi kasus dari kemiskinan.
“Apa
ya judul kita?” Tanya Eby
“
Ini aja, pengaruh tingkat pendidikan terhadap kemiskinan” Usul Jessica
“Terlalu
ribet nelitinya, tersinggung pula nanti narasumber kita. Kenapa miskin? Karena
gak punya kerjaan yang layak. Kenapa gak punya kerjaan yang gak layak? Karena
tingkat pendidikannya rendah. Kenapa tingkat pendidikannya rendah? Karena
miskin.....” aku menanggapi usulan Jessica.
“Iya,
itu udah kaya lingkaran setan yang gak tau solusinya. Kayak mana coba memutus
kemiskinan?” Yeni pun ikut menimpali.
“Cara
memutus kemiskinan cuma satu Yen, Beasiswa BIDIKMISI. Mottonya aja memutus mata
rantai kemiskinan.” jawabku
“Haha,
bener juga kau tul, nanti kalo ditanya studi kasusnya kaulah yaaaa..” jawab
yeni sekenanya.
“Kalau
ditanya contoh kemiskinan, kita jawab aja kami semua. Tengoklah muka – muka
kita weee, hahaha” Jawab Jessica mulai bercanda.
“
Aduuuh kelen ini ya, bangga kalipun jadi orang miskin. Hahaha ” Deminar pun menambahi
Pada
hari itu, kami berdiskusi tanpa mendapat solusi. Aku lupa bagaimana mulanya,
akhirnya kami dapat menentukan judul yang disetujui dosen kami yaitu faktor – faktor
kemiskinan di Belawan. Asal pembaca tahu ya, Belawan merupakan salah satu daerah diujung
kota Medan dan disana terdaapat pelabuhan serta perindustrian yang cukup
banyak. Belawan dikenal sebagai daerah yang memprihatinkan, meskipun selama
hampir dua tahun aku kuliah disini, aku hanya mendengar cerita dan belum pernah
berkunjung kesana.
Sesuai dengan waktu
yang kami tentukan, akhirnya kami berkunjung kesana untuk melakukan wawancara.
Untuk sampai disana kami menggunakan angkutan umum dengan jarak tempuh satu
jam,maklum kami anak rantau jadi tidak ada yang memiliki sepeda motor di tempat
kami studi ini. Perjalanan yang membuatku mual karena kondisi jalan yang sangat
buruk, berbeda jauh dengan jalanan di Kota Medan.
Akhirnya tibalah kami
di sudut lain Kota Medan. Tepatnya di sebuah desa bernama Nelayan Seberang,
Kecamatan Belawan, Kota Medan, Sumatera Utara demi mengerjakan tugas. Rasanya
seperti bermil-mil jauhnya dari Kota Medan. Padahal tempat ini adalah tempat
yang tidak cukup jauh dari pusat segala kehidupan kota bernama Medan. Tempat
yang dapat dijangkau hanya dalam waktu satu jam ditambah lima belas menit
menggunakan perahu mesin berkuota maksimal 15 orang. Tetapi agaknya fasilitas
dan pembangunan kota Medan belum sampai kesini. Semuanya serba pas – pasan.
Tetapi
inilah kenyataan yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia, yang mungkin kata orang
itu adalah tempat terpelosok, meski
aku tidak benar-benar tahu
makna terpelosok dalam konteks ini.Yang aku tahu, ini adalah bagian dari
Indonesia, tempat
dimana aku ditakdirkan lahir meski sampai saat ini belum
mampu memahami Negeriku sendiri, Negeri yang subur dimana tongkat dan batu
bisa jadi tanaman. Luar biasa bukan negeriku ini ? negeri yang tak bisa
kupahami dari susdut manapun, karena jika dilihat dari sudut yang berbeda –
beda maka tidak akan menemukan satupun hal yang sama.
Kembali lagi ke desa ini, desa yang mayoritas
penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai buruh nelayan. Jika
dilihat dari rumah-rumah disini, mungkin
sudah terlihat cukup baik meskipun bukanlah
rumah permanen alias terbuat dari papan dan parahnya lagi rumah – rumah mereka
berada diatas air laut yang telah berwarna hitam akibat sampah, jika air laut
sedang pasang maka rumah yang tiangnya rendah akan terendam air dan baru satu
minggu bisa menghilangkan aroma menjijikkan dari air laut yang telah
terkontaminasi dengan sampah rumah tangga maupun limbah manusia. Meskipun wilayah
Indonesia terdiri dari 2/3 bagiannya air tetapi untuk mendapatkan air bersih
disini sangatlah sulit, mereka harus membelinya. Kalian bisa melihat Film yang
kondisi pemukimannya hampir serupa yaitu Film Thailand berjudul Teacher
Diary. Bedanya, desa Nelayan Seberang lebih baik karena tidak ada jarak
yang jauh antara satu rumah dengan rumah lainnya. Semacam berada di satu
daratan, daratan yang mereka buat sendiri dengan kayu.
Berbicara
soal sekolah di Medan
yang sampai ratusan, disini
mungkin kita hanya dapat menemui satu
Sekolah Dasar. Bisakah
kalian bayangkan ? Untuk melanjutkan ke SLTP mereka harus menyeberangi laut
selama lima belas menit dengan ongkos yang cukup mahal bagi mereka, yaitu
Rp.6.000,- untuk pulang dan pergi. Belum lagi untuk membeli buku dan peralatan
sekolah lainnya. Hampir menangis rasanya ketika mendengar cerita salah satu
warga yang menceritakan bahwa anaknya lebih baik mencari ikan bersama Ayahnya
daripada harus sekolah. Hanya orang – orang kaya saja yang bisa sekolah tinggi
menurut persepsi mereka, SD sudah cukuplah, yang penting bisa baca dan tulis.
Ditempat
yang sepertinya belum terlalu pelosok dari Kota
Medan. Tidak banyak yang punya impian tentang dirinya
sendiri apalagi tentang daerahnya. Semua
terlalu pesimis untuk memimpikan sesuatu, terbelenggu dengan keadaan desa yang
pas – pasan tanpa impian. Tapi
benar juga. Bagaimana mungkin mereka membangun mimpi
atas permasalahan yang terjadi di desanya jika semua dianggap baik-baik saja?
Ini bukan salah mereka tidak memiliki ambisi untuk membangun desa jika mereka
sendiri tidak mengerti apa yang harus dibangun dengan semua hal yang sudah
sejak lahir dihamparkan didepan mata.
Ini
semua soal kesempatan dimana mereka
dapat melihat bahwa ada tempat dimana rumah
tidak berada diatas air, dimana angkutan umum
tersedia setiap menit, dimana terdapat
banyak sekolah yang bisa dipilih sesuai keinginan mereka tanpa takut memikirkan
biaya transportasi yang mahal, dimana mereka bisa memimpikan dan mewujudkan
impian yang dimiliki.
Dalam
hal ini, kita tidak berbicara soal jarak, tetapi ini soal
kesempatan untuk berkembang. Kesempatan
yang dianggap mereka hanya milik orang kaya. Kesempatan yang seharusnya berani
mereka perjuangkan. Kesempatan yang seharusnya bisa mengubah pola pikir.
Kesempatan yang seharusnya bisa menggapai impian. Kesempatan yang seharusnya
bisa memilih.
Mengutip nasihat Abahku, bahwa burung terbang dengan
sayapnya sedangkan manusia terbang dengan cita – cita, dengan impiannya. Tapi
kalimat ini sulit sekali tersugesti untuk mereka, mereka yang tidak punya
impian, mereka yang takut bermimpi dan mereka yang tidak ingin mencoba untuk
bermimpi, karena keadaan dan kesempatan yang mendorong mereka tetap berada di
lorong gelap. Ya, karena mereka tidak memiliki pilihan.
Untuk kamu yang mengaku memiliki
impian, tetaplah bermimpi dan berusaha menggapainya. Untuk kamu yang mengaku
cinta pada Indonesia, mari bergerak bersama menebar dan membangun impian bagi
mereka yang belum memiliki kesempatan akan indahnya memiliki impian. Asal
kalian tahu hidup yang bahagia itu bukan sekedar bisa hidup bersama dengan
orang yang kita cinta, tapi bagaimana kita bisa menghadirkan cinta pada orang –
orang yang tidak mencintai sesuatu, termasuk impiannya. Karena ini soal impian
dan kesempatan, bukan soal kaleng – kaleng yang ditendang terus bunyi
klenteng tanpa ada orang yang peduli.
Cerita Inspiratif : WALAUPUN CITAKU TAK SEINDAH MIMPIKU Oleh : Agi Nurhayati
WALAUPUN CITAKU TAK
SEINDAH MIMPIKU
Oleh : Agi Nurhayati*
Hidup
memang tak selalu seperti yang kita khayalkan. Terkadang hidup lebih buruk dan
terkadang pula justru lebih indah dari yang kita harapkan. Perkenalkan, namaku
Agi Nurhayati. Sekarang aku duduk sebagai salah satu mahasiswa di Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Aku sendiri telah banyak
membuktikan ungkapan “Cita tak selalu seindah mimpi”. Mulai dari
menjajaki dunia pendidikan di bangku Sekolah Dasar hingga sekarang aku menjadi
seorang mahasiswa yang pada dasarnya adalah salah satu cita-cita yang lebih
indah dari mimpiku.
Aku
terlahir dari keluarga yang sangat sederhana. Ibu dan ayahku bekerja sebagai
pedagang. Barang dagangan yang mereka jualpun masih sering berubah-ubah hingga
sekarang. Dari jual mie, rujak, jamu, mainan anak-anak, es krim, dan sekarang
Alhamdulillah ayahku jualan sembako yang beliau pasarkan ke beberapa warung di
seputaran kota Sidikalang, kota tempat tinggalku.
Selain
kehidupan kami yang serba susah dulu,ada lagi yang membuat aku tak pernah bisa
melupakan kenangan pahit. Di usiaku yang sepatutnya sangat membutuhkan kasih
sayang dan belaian orang tuaku, aku sudah harus menyaksikan hampir retaknya
rumah tangga kedua orang tuaku yang baru kupahami sekarang, hal itu disebabkan
keegoisan ayahku. Namun saat itu Allah masih sayang kepadaku dan keluargaku. Allah
membukakan hati kedua orang tuaku untuk dapat berubah menjadi orang tua yang
terbaik untukku dan adik-adikku. Dari kenangan pahit itu, walaupun mimpiku
memiliki keluarga yang bahagia dan berkecukupan, tapi aku bertekad dan bercita-cita
untuk mengubah nasib kedua orang tuaku. Karena bagiku, doa orang tua dan senyum
dari keduanyalah yang sangat aku mimpikan hingga saat ini.
Aku
sendiri tidak pernah merasakan bagaimana indahnya bermain bersama teman-teman
di kelas Taman Kanak-kanak. Bahkan aku masih ingat membaca dan menghitung dulu kupelajari
secara otodidak, orangtuaku yang mengajariku dengan susah payah. Tapi dari situ,
aku tidak pernah merasa malu walaupun cemoohan dan ejekan dari tetanggaku yang
sering terlontar sempat menggoyahkan semangatku. Dari situ, semangatku semakin
berkobar untuk membuktikan, tidak
selamanya anak-anak yang duduk di bangku TK lebih pintar daripada anak-anak
yang hanya belajar dirumah.
Hingga
pada saatnya kasih sayang Allah begitu besar kepadaku.Walaupun pada awalnya akulah
orang yang paling dikhawatirkan guru-guru di sekolahku, karena aku tidak pernah
paham cara menulis. Jangankan menulis, cara menggunakan alat tulispun aku tidak
pernah paham saat itu. Namun berkat kegigihanku untuk terus berlatih dan ditambah
semangat yang menggelora untuk mewujudkan mimpiku menjadi anak yang suskes,
sedikit demi sedikit prestasi-prestasipun sering kuraih di bangku Sekolah
Dasar. Aku sering mendapat penghargaan juara perlombaan mengarang, berpidato di
depan umum, dan bahkan aku pernah mendapat bantuan biaya pendidikan bagi siswa
berprestasi dari pemerintah kabupaten tempat tinggalku. Senang tercampur haru,
itulah yang kurasakan saat itu. Karena disitu aku mulai bisa membuktikan
walaupun keluargaku hidup serba kesusahan, tidak pernah menyurutkan semangat
untuk selalu berkarya dan berprestasi demi mewujudkan mimpi. Bahkan kalau
diingat-ingat dengan semangat itu pula dulu aku harus berjalan kaki sejauh lima
kilometer jauhnya untuk menuju sekolahku. Lebih dari itu, aku semakin bertekad
untuk membuktikan tidak selamanya anak perempuan itu harus dipingit di rumah
dan ditunggu hingga dilamar nantinya.
Menginjak
bangku SMP, aku pernah bermimpi menjadi siswa yang berprestasi dengan mendapat
juara pertama umum mengalahkan 278 siswa lainnya dan membanggakan orangtuaku,
bermimpi mereka menangis terharu dengan keberhasilanku itu. Tapi sekali lagi,
yang aku dapatkan memang tak selau seindah mimpi yang kuharapkan. Walaupun
tidak juara pertama, setidaknya aku bisa mendapat juara enam umum dan mendapat
penghargaan dari kepala sekolahku serta didampingi ibuku saat itu. Tangis
kebanggaan orang tuaku pun mengalir, aku masih ingat dulu saat itu beliau
memelukku karena prestasi yang menurutku jelas terasa lebih indah dari mimpi
yang pernah kuharapkan.
Di
bangku SMA, aku termasuk siswa yang dikenal paling dekat dengan guru-guru. Maka
tidak heran bila segala kegiatanku selalu didukung penuh oleh mereka. Karena
keterbatasan ekonomi keluargaku, segala upaya pernah kulakukan. Mengingat biaya
sekolah di tempatku sangatlah mahal, dimana di dalamnya diisi oleh orang-orang
yang berada dikalangan elit.Tapi aku tidak pernah malu dan minder dengan hal
itu. Berbagai usaha pernah kujalani, mulai dari jualan bakso goreng sampai dengan pelayan di berbagai tempat
makan di kota tempat tinggalku. Uang yang kudapatkan selalu aku serahkan kepada
ibuku untuk membantu biaya sekolahku. Walaupun dengan biaya itu sangat membantu
orang tuaku, kali ini kasih sayang Allah kembali tercurah berlipat-lipat ganda
kepadaku. Berbagai bantuan biaya pendidikan berprestasi pun sering aku
dapatkan. Rasa syukur tak henti-hentinya aku haturkan kehadirat Allah SWT.
Berlipat-lipat
ganda rahmat Allah yang aku dapatkan saat itu. Beasiswa BIDIKMISI dapat kuraih
berkat uluran tangan pihak-pihak yang berhati mulia seperti guruku. Mereka
semua membimbing dan menyemangati aku, serta meyakinkan aku bahwa kuliah bukan
hanya untuk orang-orang yang “berduit” tapi juga untuk orang-orang yang punya
tekad dan mimpi yang besar.
Di
waktu SMA dulu pernah juga terbesit di hatiku rasa dengki dan iri dicampur
pesimis melihat aku tidak bisa duduk mengikuti bimbingan belajar tambahan
bersama teman-temanku diluar sekolah karena faktor biaya. Seakan sudah terbiasa
otodidak, aku belajar sungguh-sungguh di rumah dan meyakinkan diri bahwa Allah
akan menentukan yang terbaik bagi hamba-hambanya.
Memasuki
masa pendaftaran SNMPTN undangan, aku sudah bertekad kuat untuk bisa kuliah di
salah satu universitas yang sudah kulirik mulai aku duduk dibangku SMP dulu yaitu
Universitas Gajah Mada, khususnya jurusan Matematika. Karena saat itu aku
bermimpi ingin menjadi seorang dosen Matematika. Sebagian orang pasti bertanya,
mengapa harus Matematika, jawabannya adalah aku suka menghitung, aku suka
angka, aku selalu mengandalkan otak kiri ku dalam hal apapun, dan logikaku
seakan hanya mengarah ke urusan Matematika. Oleh karena itu pula, dibangku SMA
dulu aku pernah tergabung menjadi salah satu peserta olimpiade Matematika
mewakili sekolahku. Walaupun juara tidak pernah aku dapatkan saat itu, tapi
terpilih menjadi salah satu peserta mewakili sekolah dulu sudah cukup menjadi
prestasi bagiku demi mengasah kemampuan logika menghitungku.
Tapi
semua kembali tidak sesuai yang kuharapkan. Frustasi dan kegelisahan yang
kurasakan ketika mendengar aku gagal
SNMPTN. Dari keputusan penting itu, pernah terbesit dihatiku untuk tdak
kuliah dan pasrah akan cemoohan orang-orang yang sering menentang pernyataan
bahwa perempuan tidak seharusnya kuliah.
Begitu
indah jalan yang diberikan Allah memang. Pernah disuatu malam aku bermimpi
bahwa aku duduk dibangku kuliah. Dari mimpi itu aku berpikir dan merenung
jangan sampai kegagalan pertama itu menghancurkan mimpi yang sudah kurancang
dari awal. Dari situ aku berpikir, apa yang akan kudapatkan bila aku hanya menganggur
di rumah dan selalu bergantung kepada kedua orang tuaku. Tapi disamping itu
semua, rasa pesimis sering menyelimuti hatiku untuk ikut SBMPTN, mengingat
waktuku yang hanya kurang dari dua minggu, dan aku harus mulai belajar secara otodidak
kembali di rumah dibandingkan dengan teman-teman sekaligus saingan-sainganku di
pertempuran SBMPTN tulis yang penuh persiapan dari bimbingan belajar yang sudah
mereka ikuti sejak dua bulan lamanya.
Namun
aku selalu mengingat kata-kata dari ayahku,”Tidak ada yang tidak mungkin bila
Allah sudah berkehendak”. Dari situ aku yakin, berkat kasih sayang Allah dan
doa orang tuaku, aku bisa lulus di SBMPTN yang sangat aku harapkan menjadi
jalan terakhirku menuju bangku kuliahku.
Sungguh
bertubi-tubi limpahan rahmatNya, Allah membuka jalan bagiku. Dua hari menuju
pendaftaran terakhir SBMPTN, aku
mendaftar melalui salah satu warung internet yang jaraknya satu kilometer dari
rumahku dan akupun harus berjalan kaki menuju kesana. Jujur saja kakiku
bergetar dan hatiku gundah, mengingat pilihan jurusan apa yang harus aku ambil
bila melihat persiapanku menuju PTN yang tidak sepenuhnya siap. Berkat
bimbingan dan arahan dari guru SMA yang turut membantuku proses pendaftaran
SBMPTN, aku menetapkan Fakultas Kesehatan Masyarakat sebagai pilihan pertamaku.
Pertimbangan yang aku lihat waktu itu adalah daya tampungnya yang cukup
menggiurkan bagiku. Tidak terlintas sedikitpun saat itu bahwa kesehatan adalah
hal yang harus memaksa kita rajin membaca dan menghapal, padahal hal itulah
yang paling aku hindari selama aku sekolah dari SD sampai SMA dulu. Yang
terlintas dipikiranku saat itu adalah aku bisa mengisi hari-hariku dengan
kuliah dan tidak menyusahkan orang tuaku dirumah.
Dosen
Matematika adalah cita-cita awalku. Tapi sekali lagi, semuanya hanya harapan.
Saat ini aku kuliah di Fakultas Kesehatan Masyarakat, dan sangat tidak
berhubungan dengan cita-citaku. Walaupun pada awalnya aku bingung dan agak
susah beradaptasi karena harus rajin membaca dan menghapal, akhirnya pintu
pikiranku dibukakan olehnya. Aku juga tidak kalah dengan orang-orang yang
memang sudah awalnya suka dengan bagian kesehatan. Predikat cumlaude
juga masih bisa kusandang hingga saat ini. Mulai saat ini aku mulai merasa FKM
sudah mulai merasuk ke hatiku dan menjadi bagian terpenting dalam hidupku.
Saat
ini aku sudah bermimpi menjadi salah
satu dosen FKM di Universitas Diponegoro, Universitas tempat kelahiranku, Jawa
Tengah. Kali ini aku berjanji, bahwa cita-cita yang satu ini akan terwujud
lebih indah dari mimpiku. Aku yakin, dengan doa dan usaha yang keras, serta
hati yang ikhlas, Allah akan meunjukkan jalannya kepada kita.
Dari
ceritaku ini,ada beberapa hal penting yang wajib kita sadari. Kita manusia
biasa hanya bisa berencana, bermimpi, dan bercita-cita. Segala sesuatunya Allah
yang menentukan. Memang terkadang selama hidup ada hal-hal yang tidak sesuai
dengan yang kita harapkan, ada kalanya kita kecewa, ada kalanya pula kita
senang dan bangga. Jangan pernah berkeluh kesah dan berputus asa, terkadang
harapan yang tidak sesuai itulah jalan terbaik yang diberikan Allah kepada
kita. Teruslah bermimpi, teruslah
berkarya, dan teruslah berprestasi, jangan biarkan ekonomi menghalangimu,
jangan biarkan kondisi menguasaimu, dan
teruslah ukir prestasimu, InsyaAllah semua akan terwujud.
Cerita Inspiratif : BERJUANG DALAM KETERBATASAN Oleh : Rini Lestari
BERJUANG DALAM KETERBATASAN
Oleh
: Rini Lestari*
Kisah
ini diawali dari awal masa SMA, tentang perjalanan seorang pemimpi. Anak ini
masih polos dan masih belum mengerti tentang bagaimana dunia yang sebenarnya
bahkan tentang dirinya sendiripun anak ini masih buta, apa bakat yang ada dalam dirinya,
keinginan-keinginannya dan tujuan hidupnya. Anak itu adalah “Aku”. Mungkin aku
menyadari bahwa aku masih dalam tahap remaja yang memiliki emosional naik turun
dan cenderung kurang serius. Hingga pada
suatu momen yang membuatku berada dititik yang benar-benar membuatku berpikir.
Ya, pada hari itu sekolahku membuat angket minat dan bakat yang akan diberikan
kepada siswa SMA kelas X. Di angket itu sudah pasti memuat data-data pertanyaan
tentang profil siswa, minat dan bakat yang dimiliki oleh para siswa. Untuk
mengisi data profil diri sendiri bukanlah hal yang sulit bagiku. Namun, ketika aku
berada pada pertanyaan minat dan bakat tersebut aku berhenti begitu lama, ya
untuk berfikir tentunya. Untungnya, bukan hanya aku yang menemukan kebingungan,
para siswa lain juga begitu, sehingga kami diperbolehkan untuk membawa pulang
data angket tersebut untuk dibawa pulang ke rumah untuk dilengkapi dan
dipikirkan secara matang.
Baru
kali ini aku tampak begitu bingung hanya karena harus memaparkan diriku sendiri
dalam sebuah tulisan. Aku berpikir mau jadi apa nanti? Aku tahu bahwa ini
bukanlah sesuatu yang bisa aku tertawakan atau sepelekan. Sebenarnya aku berada
pada pertanyaan “Apakah anda akan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi?”.
Pertanyaan itu saja sudah membuatku bingung. Aku tidak berpikir realitas yang
dipikirkan oleh pihak sekolah, aku hanya berpikir realitas yang ada dalam
pikiranku saja, pihak sekolah tentunya hanya membutuhkan jawaban “ya” atau “tidak”
sementara aku memikirkan “Bagaimana aku bisa kuliah, kuliah itu kan mahal,
apa mungkin aku mampu? Sulitkah kuliah itu? Tapi aku ingin kuliah...” Dari
pemikiran itu seharusnya pula aku bisa menjawab “ya”, karena pihak sekolah
tidak menanyakan aku sanggup atau tidak. Dengan segala keyakinan yang di ambang
keraguan itu aku melingkari kata “ya”.
Pertanyaan-pertanyaan selanjutnya aku pikirkan
dengan lebih keras lagi hingga selesai. “Dimana akan kuliah? Jurusan yang
diinginkan? Ingin menjadi apa kelak? Hobi yang dimiliki dan lain-lain”. Angket
sekolah itu benar-benar membuatku berpikir. Selama ini aku menganggap bahwa
segala sesuatunya akan mengalir seperti air dan aku akan ikut terhanyut dalam
air itu agar tetap berada di zona nyaman tanpa harus repot-repot melawan arus
deras yang berada didepan atau dibelakangnya. Apakah harapan-harapan yang aku
tuliskan dalam angket itu sudah benar dan bisa aku dapatkan? Apakah cita-cita
yang aku tuliskan dalam angket itu bisa wujudkan? Dari pemikiran itu aku
menemukan titik temu. Ya, aku tidak bisa bermain-main lagi, masa ini adalah
masa yang harus aku perjuangkan untuk bisa mendapatkan harapan-harapan, karena
aku yakin dari harapan-harapan itu aku bisa mewujudkan cita-citanya, itulah
keyakinan yang berhasil aku bangun dalam diri. Tapi, tetap saja aku masih
berpikir tentang realitas kehidupannya.
Hidup
di keluarga sederhana awalnya membuatnya minder dan pesimis, memiliki tiga adik
yang usianya tidak terpaut jauh semakin membuatku pesimis. Jika aku tidak
menjadi apa-apa hal ini tentu akan menjadi contoh yang kurang baik bagi
adik-adikku, mereka akan kurang termotivasi. Sementara jika aku mencobanya, aku
akan menjadi penutup jalan bagi adik-adiknya. Biaya pendidikan sekarang
tidaklah murah, jika aku mengkalkulasikan jumlah penghasilan ayah dengan biaya
dan kebutuhan yang harus dicukupi seluruh anggota keluarga masih kurang. Belum
lagi dengan permintaanku yang ingin kuliah, hal ini membuat ibu hanya bisa
memberiku kata “Semogaa Rin bisa kuliah” kata beliau. Kata itu sedikit
menghibur meski masih samar-samar jika kupikir-pikir lagi. Akankah cita-citaku
harus terhalang oleh terbatasnya materi? Tapi sekali lagi aku mengaburkan
pikiran tersebut, aku tersadar bahwa rezeki itu hanya milik Allah dan Allah
yang mengetahuinya, jika aku selalu bersama-Nya aku pasti tidak akan sebimbang
ini. “Ya Allah, bagaimana ini? Sesungguhnya aku telah mendustakan nikmat yang
Engkau berikan. Aku meragukan kemurahanMu. Betapa berdosanya aku, ampuni aku Ya
Allah.” gumamku.
Aku
merupakan seorang anggota Pramuka di sekolah, aku amat mencintai Pramuka,
bagiku Pramuka adalah jalan hidupku. Aku seperti menemukan diriku ketika aku
berada di dalamnya. Sedih, susah dan senang, pengetahuan-pengetahuan yang tidak
didapatkan siswa-siswa lain dalam jadwal belajar sekolah, aku menemukannya
disini. Menjadi orang yang lebih mandiri, tegas, dan berwawasan luas. Itu yang
aku temukan dalam Pramuka. Karena Pramuka aku bisa pergi ke tempat-tempat yang
mungkin tidak kupikirkan sebelumnya. Kegiatan-kegiatan cabang rajin kuikuti hingga
aku bisa mengikuti kegiatan daerah bahkan sampai tingkat Nasional. Tinggal
selangkah lagi menuju pramuka Internasional. Rasa cintaku untuk tanah airku
bukanlah hal main-main, ketika teman-teman lain mengatakan bahwa tanah airnya
ini begitu rapuh, bodoh dan kolot, aku begitu marah namun memendamnya. “Tidak!
tanah airku ini indah, orang-orangnya pintar, tidak kolot. Hanya perlu sedikit
perubahan saja,” gumamku.
Rasa
percaya diri perlahan-lahan aku dapatkan, aku semakin yakin apa yang menjadi
keraguanku aku pasti bisa menghancurkan keraguan tersebut menjadi keyakinan.
Aku hanya perlu bertahan dan berubah menjadi lebih baik, aku yakin apa yang
menjadi harapanku mampu kudapatkan, apa yang kucita-citakan mampu kuwujudkan.
Aku hanya perlu 3+1 hal : Yakin, Usaha dan Sampai + Doa. Kepercayaan ini
kudapatkan karena terinspirasi dari kisah-kisah kakak-kakak Pramuka ketika
berkegiatan. Sharing yang benar-benar menginspirasiku. Mereka adalah
orang-orang yang berhasil dalam keterbatasan yang dimiliki. Mereka bisa, maka
aku juga bisa. Ya, harus yakin.
Apa
yang menjadi keyakinan benar-benar kuperjuangkan, hingga aku mencapai satu
harapan dalam daftar targetku. Aku berhasil melanjutkan pendidikan perguruan
tinggi di Universitas ternama, dengan jurusan yang sesuai dengan angketku dulu.
Ini bukanlah perjuangan yang mudah, memikirkan aku hanya berasal dari sekolah
yang tidak terkenal dan biasa-biasa saja. Tapi aku mampu menembusnya. Tidak
hanya itu, aku juga memetik buah manis lain, aku mendapatkan beasiswa BIDIKMISI,
dimana mahasiswa dapat kuliah dengan gratis dan mendapatkan bantuan dana secara
rutin. Syaratnya hanya perlu belajar dengan baik dan berasal dari keluarga
menengah kebawah. Ini bukanlah sesuatu yang aku duga, namun membuatku sangat
bersyukur.
Ungkapan
terakhir yang dapat kutuliskan dalam diariku hari ini adalah kehidupan seorang
manusia sebenarnya tidaklah seruwet dan serumit yang dibayangkan, hanya saja
dalam prakteknya kalimat ini tidak berlaku dan bahkan tersingkirkan, karena
yang dirasakan justru adalah sebaliknya, hidup ini rumit, ruwet dan
memusingkan. Ini adalah satu paket keluhan yang seharusnya benar-benar
dihindari meskipun sebenarnya memang telah sesak dirasakan, dan hal itu tidak
bisa kupungkiri bahwa aku juga benar-benar merasakannya. Aku mendapatkan satu
pelajaran disini. “Kamu tidak perlu mengeluh tentang apa yang menjadi
kesulitanmu. Yang kamu butuhkan keyakinan agar keluhan yang kamu rasakan
berubah menjadi keyakinan. Syukuri yang ada dalam dirimu dan kehidupanmu,
karena kamu tidak hanya perlu melihat keatas, tapi juga kebawah agar kamu tahu
bahwa nikmat yang diberikan Tuhan kepadamu jauh lebih besar dibanding mereka
yang untuk mendapatkan sesuap nasipun sangatlah sulit” Bersyukur adalah salah satu keputusan yang
paling tepat ketika kamu menemukan kegalauan. Apalagi Allah sangat menyukai
orang-orang yang bersyukur.
Ini
adalah perjuangaku hari ini, dan aku masih perlu berjuang lagi untuk kedepan.
Jalan didepan masih samar-samar terlihat. Bukan berarti jalan itu akan mulus,
bisa jadi akan lebih sulit dibandingkan yang sebelumnya. Aku sadar bahwa aku
baru mendapatkan sebaris target harapan-harapanku tapi belum cita-citaku. Jika untuk
mendapatkan harapan saja sudah sulit, untuk mewujudkan cita-cita pasti bukanlah
hal yang mudah pula. Maka dari itu jadikanlah harapan-harapan yang sudah
didapat itu sebagai amunisi yang baik untuk membidik cita-citamu dititik yang
tepat. Aku berharap segala sesuatunya dapat aku lalui, menjadi seorang Psikolog
dan memberikan senyum kebahagiaan kepada orang tua yang begitu kucintai.
Kabulkanlah Ya Allah. Aamiin.
Cerita Inspiratif : ORANG MISKIN DILARANG BERMIMPI BESAR Oleh : Nurhayati
ORANG
MISKIN DILARANG BERMIMPI BESAR
Oleh : Nurhayati*
Bukankah tak pernah ada orang yang bermimpi lahir
jadi miskin, kere, tak punya apa-apa? tetapi gara-gara hal itu banyak orang
yang tak diberi hak untuk pintar, cerdas, kreatif, dan inovatif.
Perkenalkan namaku
Nurhayati, terlahir dari pasangan bapak Humam dan ibu Saimah pada tanggal 20
September 1996 di dusun terpencil ujung pulau Sumatera. Aku termasuk anak yang
pemalu apalagi bila bertemu dengan orang baru. Tanpa disadari, waktu terus berputar
meninggalkan kenangan masa kecilku. Ya, sekarang aku resmi menyandang gelar
kelas 1 SD. Aku sangat senang sekali akhirnya aku bisa duduk di bangku sekolah
dasar. Ini merupakan cita-citaku dari dulu setelah melihat tawa riang bahagia
teman-temanku yang masuk TK sebelum masuk sekolah dasar. Sayangnya waktu itu
aku tidak sempat mencicipi manisnya pendidikan TK karena faktor ekonomi dan
jarak rumah yang jauh dari sekolah. Oleh karena itu, sekarang aku sangat senang
sekali bisa memasuki sekolah dasar, mendengarkan pelajaran dari ibu guru hebat
bagai pemandu bakat siswanya. Walaupun aku tidak masuk TK, namun bisa
dipastikan aku tak kalah cekatan dalam pelajaran dibandingkan teman-temanku yang masuk TK.
Terbukti selama aku bersekolah dasar, aku selalu mendapat peringkat 3 besar.
Masa remaja menghampiriku, kini tiba saatnya untuk menggunakan seragam putih
biru. Banyak dari teman-temanku yang tak melanjutkan sekolahnya ke jenjang SMP
dikarenakan tidak memiliki biaya. Sebenarnya nasib mereka sama sepertiku, tidak
memiliki banyak uang, susah untuk melanjutkan sekolah, namun perbedaannya
adalah mereka seakan pasrah menerima nasib kemiskinan. Aku sangat beruntung
memiliki orangtua seperti ayah dan ibuku karena mereka mengerti arti pentingnya
pendidikan buatku. Miris rasanya melihat mereka yang tak melanjutkan sekolah
karena harus banting tulang mencari nafkah. Aku sangat ingat sekali apa yang
kuucapkan waktu itu, “Saat tiba waktunya aku menjadi orang sukses dan kaya
raya, orang seperti merekalah yang akan mencicipi buah kesuksesanku.” Entah
itu sebuah kalimat lelucon remaja ingusan sepertiku atau kalimat penghibur
untuk diriku kala itu.
Sejak saat itu aku
terus-terusan bermimpi ingin menjadi seperti ini, seperti itu karena jika kita
tak berani bermimpi berarti kita tak mempunyai cita-cita. Menjadi penulis
adalah mimpi terbesarku. Aku sangat mengagumi seorang penulis yang hanya karena
goresan penanya mampu membuat semua orang berdecak kagum. Menulis adalah seni
yang muncul dari pikiran dan hati. Jika diberi kesempatan, aku ingin bertemu
dengan J.K Rowling. Aku ingin meminta tips darinya untuk menulis karya yang
bagus. Perlahan-lahan aku mulai mengikuti jejaknya, dari mulai menulis dream note ataupun menulis karangan
cerpen. Aku tahu J.K Rowling tak menulis hal seperti itu. Namun sebagai pemula,
aku sangat suka membuat cerpen, juga sangat suka membuat puisi namun tak suka
membaca puisi. Selama di SMA, aku termasuk salah satu siswa yang berprestasi,
terbukti dengan beragam piala yang berhasil ku dapatkan. Dari mulai juara
kelas, juara pidato, juara debat hingga juara cerdas cermat. Tidak berhenti
sampai disitu, aku juga aktif dalam kegiatan organisasi. Aku pernah menjabat
sebagai ketua OSIS di SMA dengan mengalahkan 4 pesaingku. Tahun 2013 lalu, aku
mewakili kabupatenku untuk mengikuti pelatihan kepemimpinan pemuda yang diadakan
oleh Dispora provinsi Sumatera Utara. Suatu kehormatan bagiku bisa menjadi
peserta terbaik dalam pelatihan tersebut. Selain mendapatkan ilmu, aku juga
mendapatkan penghargaan terhormat seperti itu. Lagi dan lagi aku bersyukur
kepada Allah atas nikmat ini. Suatu hari nanti aku berharap bisa menginspirasi
orang lain dengan membuat sebuah buku yang berisi kisah perjalanan hidupku.
Hari terus
berganti, kini saatnya bagiku untuk melanjutkan mimpiku. Aku pernah bermimpi
untuk menjadi seorang mahasiswa. Sebuah mimpi yang teramat sederhana bagi orang
yang memiliki banyak uang. Aku cukup sadar dengan keadaanku. Aku hanyalah anak
seorang petani yang dalam kebutuhan sehari-hari pun sulit untuk terpenuhi,
lantas bagaimana bisa aku bermimpi seperti itu. Salahkah aku bermimpi? Kucoba
bercerita pada keluargaku tentang mimpi itu, tetapi mereka hanya menunjukkan
raut wajah sedih, seakan meratapi nasib. Ingin rasanya aku marah, menyesal
pernah terlahir dari keluarga miskin tetapi suara adzan menyadarkanku dari
nafsu duniawi. Kepada Allah kuserahkan segalanya, kucurahkan semua impian,
harapan dan cita-citaku dalam doa-doa malamku. Aku sadar tak seharusnya
menyerah dengan keadaan yang membuatku semakin terpuruk, aku harus bangkit dan
optimis bisa mewujudkan semua mimpiku. Jika harus bekerja aku akan bekerja demi
melanjutkan studiku. Aku telah menjalani pekerjaan sebagai guru les.
Penghasilan dari pekerjaan itu lalu aku tabung dan aku kumpulkan untuk biaya
kuliahku. Namun sayang, uang tersebut belum cukup untuk memenuhi kebutuhan
biaya kuliahku. Aku tahu biaya masuk kuliah pasti sangat mahal. Tetapi,
nampaknya Allah mempunyai rencana lain, atas bantuan dari guru-guruku di
sekolah, aku resmi mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi dan mengikuti
program beasiswa mahasiswa berprestasi (BIDIKMISI). Aku sangat optimis lulus
dalam seleksi itu. Aku sudah mengambil jurusan sesuai dengan passion ku. Setiap hari aku berdoa
supaya Allah senantiasa mengabulkan doa-doaku. Benar kata orang bahwa Allah
sangat dekat dengan hambanya yang bersabar. Selama menunggu hampir 1 bulan,
pengumuman seleksi pun sudah keluar. Entah ini sebuah mimpi atau nyata, aku
lulus dalam seleksi tersebut. Bahkan aku menduduki peringkat pertama dalam
seleksi tersebut. Orangtuaku sangat bahagia mendengar kelulusanku. Mereka
menangis dan menyebut asma Allah. Akhirnya aku berhasil membuat orangtuaku
menangis bahagia. Dalam satu tetesan air mata mereka mengandung jutaan harapan
yang lebih lagi dariku. Aku tak akan pernah menyianyiakan kesempatan ini. Ingin
rasanya aku membahagiakan kedua orangtuaku, menghapus kisah sedih mereka, dan
memberikan garansi kebahagiaan disisa hidup mereka. Aku akan terus belajar dan
bekerja cerdas dalam mewujudkan semua mimpiku.
Kini, 1 tahun sudah
aku menjadi seorang mahasiswa. Aku sangat bahagia bisa menjadi salah satu
bagian sivitas akademi Psikologi USU. Semua perjuanganku selama ini terbayar
sudah. Aku sangat ingat waktu penutupan PMB (Penerimaan Mahasiswa Baru), bapak
POMDA Psikologi memuji kata sambutanku. Beliau bilang aku mirip Puan Maharani.
Baru tamat SMA saja sudah hebat dalam berbicara di depan publik. Tak hanya itu,
kebahagiaanku masih berlanjut ketika aku mendapatkan IP cumlaude. Aku
akan terus mempertahankan IP-ku, supaya aku dapat melanjutkan kuliah di luar
negeri secara gratis. Aku akan berusaha menjadi generasi emas yang membanggakan
dengan memutus rantai kemiskinan. Aku akan memotivasi semua orang untuk terus
bermimpi besar. Tidak ada bedanya kaya atau miskin selain usaha dari keduanya.
Percayalah kesuksesan sangat dekat dengan orang-orang yang selalu mengalami
kesulitan. Jadi, masih yakin berhenti bermimpi? Kalau kamu berhenti bermimpi,
aku sangat amat menyesal akan meninggalkanmu sendirian dalam angan-angan
imajimu. Aku akan terus melangkah kedepan dalam meraih semua mimpi dan
cita-citaku. Selamat bertemu di kehidupan kelak wahai para pemimpi besar!
Cerita Inspiratif : SETIAP ORANG BERHAK UNTUK SUKSES Oleh : Agus Susanto
SETIAP ORANG BERHAK UNTUK SUKSES
Oleh : Agus Susanto
“Karna Allah
sudah menyebarkan benih kesuksesan, dalam tempat dan waktu yang tepat ketika
suatu saat kita akan membutuhkan, kesuksesan hidup dalam diri kita menunggu
untuk bersemi, tumbuh dan berbunga.”
Lahir dari keluarga yang sederhana
membentuk sikap yang apa adanya, jujur dan pendiam, menjadikan dirinya sebagai sosok
yang hangat di keluarga. Agus, begitulah sehari-hari ia disapa. Pemuda 20 tahun
yang lahir di Perbaungan pada 21 Agustus 1995 ini bernama lengkap Agus Susanto,
saat ini ia telah menjadi salah satu Mahasiswa di Universitas Sumatera Utara.
Perjuangan menuju posisinya sekarang ini
ternyata bukanlah hal yang mudah, mengingat kondisi keluarga yang dikategorikan
sebagai masyarakat menengah, begitupun baginya itu bukanlah halangan, karna ia
percaya bahwa tidak ada hal yang tidak mungkin untuk dicapai, seperti kata
pepatah mengatakan “Where there is a will
there is away - Dimana ada kemauan disitu ada jalan”.
Sejak Sekolah Dasar Agus memanglah seorang
anak yang cerdas buktinya ia selalu meraih rangking 2 besar di setiap semester
di kelasnya selama Sekolah Dasar. Namun ia sempat mengalami kemunduran saat ia
menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Pertama, ia hanya bisa meraih rangking
2 besar di semester awal dan hanya bisa bertengger di 15 besar disemester
seterusnya. Dan ini menjadi sebuah pukulan baginya karena tidak bisa
mempertahankan apa yang telah ia bangun sejak di Sekolah Dasar. Dan saat di Sekolah
Menengah Atas seperti ingin membalas dendam, akhirnya ia kembali masuk ke 4
besar di setiap semesternya, walaupun tidak secemerlang di Sekolah Dasar namun
setidaknya lebih baik dari kemundurannya saat di Sekolah Menengah Pertama.
Masa akhir sekolah adalah masa yang penuh
dilema, untuk melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi yakni ke
Perguruan Tinggi, pastilah ia dan keluarganya harus ekstra kerja keras mengumpulkan
pundi-pundi rupiah. Padahal keluarganya juga masih harus membiayai sekolah adiknya
yang saat itu telah masuk ke jenjang Sekolah Menengah Pertama.
“Saat itu memang saat-saat yang paling
membuat saya sangat bingung untuk memilih apakah saya berhak untuk kuliah atau
saya harus bekerja agar tidak semakin membebani keluarga”. Ungkapnya
menunjukkan perasaan bingungnya saat itu.
Yang paling ia ingat pada saat itu adalah
ketika bapak yang mulai berkomentar mengenai kelanjutan pendidikannya setelah
tamat Sekolah Menengah Pertama, apakah harus lanjut ke Perguruan Tinggi atau
bekerja saja.
“Bapak hanya punya 3 pilihan sama kamu,
Gus. Pertama bapak akan tetap mendukungmu jika kamu ingin lanjut untuk kuliah,
walaupun kamu sendiri tau bagaimana kondisi kita, tapi kamu juga harus berusaha
bagaimana bisa membantu bapak memenuhi kebutuhanmu disana. Kedua, kamu akan
bapak kursuskan mesin atau listrik agar kamu punya keahlian dan kamu bisa dapat
kerja dengan mudah, atau yang ketiga bapak akan minta bantuan bos bapak untuk
bisa mempekerjakanmu di kantor dinasnya,” ucap Agus menirukan kata-kata ayahnya
saat itu.
Perasaan bingung semakin memuncak tatkala
mendengar pendaftaran ke seluruh Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia melalui
jalur Undangan telah dibuka, setiap orang di sekolah pasti membicarakan hal
ini, setiap orang saling bertanya satu sama lain. Kamu mau daftar ke
universitas apa? Mau pilih jurusan apa? Mau yang di Jawa atau
yang di Sumatera aja? Pertanyaan-pertanyaan yang hampir setiap hari ia jumpai
setiap berpapasan dengan teman-temannya disekolah, padahal ia sendiri belum tau
apakah bisa kuliah atau tidak.
“Aku teringat saat aku masih di Sekolah
Dasar dulu, aku memang seorang anak yang penakut dan tidak mau bermimpi,
padahal aku memiliki potensi yang besar. Suatu waktu saat kami sedang bercerita
tentang masa depan kami bersama sahabat-sahabatku dulu di Sekolah Dasar, aku
satu-satunya orang yang mengatakan tidak akan kuliah karena masalah biaya.
Dahulu aku memang orang yang penakut, untuk menginginkan sesuatu saja aku tidak
berani karna aku takut tidak akan tercapai, namun selama aku di Sekolah Menengah
Atas, aku mendapatkan sahabat yang senantiasa saling mendukung satu sama lain
tak peduli bagaimana keadaannya sehingga aku menjadi bersemangat untuk
mengambil langkah baru untuk lanjut ke Perguruan Tinggi,” kisahnya saat
teringat masa kecilnya.
Semangat yang ia dapat saat di masa
Sekolah Menengah Atas membuatnya berubah haluan, ia semakin bersemangat untuk
menjadi seseorang yang sukses. Ia berpikir bahwa satu-satunya yang dapat
membebaskan keluarganya dari keadaan ini adalah dirinya, yakni bagaimana ia
bisa menjadi orang yang sukses agar ia bisa mengangkat perekonomian keluarganya
menjadi lebih baik, walaupun dulu tak pernah terlintas dipikirannya bagaimana
cara mengangkat perekonomian keluarganya namun sekarang dengan tekad dan
potensi yang ia punya ia yakin dapat menjadi seseorang yang sukses, dan ia tahu
betul untuk mewujudkan itu semua ia harus melanjutkan kuliah.
Di atas api semangatnya yang mulai
berkobar ternyata muncul awan-awan harapan yang membuatnya semakin yakin untuk
memilih melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi, salah satunya adalah
dibukanya pendaftaran beasiswa BIDIKMISI untuk melanjut ke Perguruan Tinggi,
dan beasiswa ini juga lebih dikhususkan bagi calon mahasiswa yang tidak mampu.
Dari berita itu ia langsung
membicarakan tentang pilihan bapak setelah selesai SMA, maka ia memilih untuk
melanjutkan ke Perguruan Tinggi dengan alasan ia akan berusaha mendapatkan
beasiswa BIDIKMISI yang telah ia dengar pengumumannya itu untuk calon-calon
mahasiwa yang kurang mampu, agar bapak tidak terlalu berat memikirkan biaya
selama kuliah disana.
Akhirnya dengan mantap ia memilih
untuk melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi. Namun hal yang membuatnya
dilema kembali datang. Jurusan apa yang harus ia pilih dan di Universitas apa
ia harus ambil? Pertanyaan yang memang membuat banyak orang akhinya menjadi
dilema. Banyak hal yang harus ia pertimbangkan untuk memutuskan keputusan ini,
karna dengan ini ia akan menjalani kehidupannya selama kurang lebih 4 tahun
kedepan untuk menyelesaikan studi Strata 1. Dan paling tidak juga akan menjadi
masa depannya kelak, karna dengan apa
yang telah ia pelajari saat ini akan menjadi dasar menjalani profesinya
kedepan. Meskipun tak selamanya apa yg ia pelajari dikuliahan harus sesuai
dengan pekerjaan yang akan ia pilih nantinya.
Di akhir keputusannya ia memilih
untuk memasukkan jurusan Agroekoteknologi USU sebagai pilihan pertama dan Ilmu
Perpustakaan USU sebagai pilihan keduanya, dengan pertimbangan bahwa ia memang
lebih menonjol pada bidang Biologi dari pada mata pelajaran lain semasa di SMA
dulu, dan Ilmu Perpustakaan sebagai ajang coba-coba saja.
Seperti ingin meminta-minta, ibadah
yang tak pernah ia lakukan semasa hidup, saat itu bisa dia lakukan. Sholat
Tahajud, Dhuha, dan lebih rajin beribadah wajib dilakoni demi meraih ridho
Allah agar diberikan keputusan yang terbaik.
Di atas Arasy-Nya ternyata Ia telah menggoreskan nasib untuk lulus di
jurusan pilihan pertama, yakni Agroekoteknologi USU.
“Rasanya senang, bangga, sekaligus
tidak menyangka bahwa Allah benar-benar mengijabah doaku, tapi aku yakin ini
semua juga karna ridho dari orang tua yang mendoakan aku disetiap sholat-sholat
mereka. Dan ada hal yang aku kira menjadi hal yang tak kusangka, ternyata saat
itu orang satu desa memberikan ucapan selamat bagiku sekaligus memberikan
motivasi yang menurut mereka sangat perlu, karna didesa mungkin masih sangat
sedikit yang bisa lulus di Universitas Negeri yang sangat bergengsi di Sumatera
Utara. Dan itu membuatku semakin semangat untuk menjalani hari-hari di
perkuliahan”. Ungkapnya saat ditanya bagaimana rasanya lulus di USU.
Dengan timbunan semangat yang ia
dapat dari berbagai sumber motivasi yang menghampiri, ia langkahkan kaki untuk
meninggalkan desa dan tinggal di Medan untuk sementara waktu hingga kuliahnya
selesai, dan disana ternyata banyak sekali ilmu yang didapat, yang selama ini
tak pernah ia dapatkan saat ia masih di kampung, baik dari mata kuliah yang
diajarkan maupun dari pergaulan selama di Medan.
Waktu demi waktu berlalu semakin
menuju ujung dengan beban untuk menjadi seorang Sarjana yang masih ia pikul sebagai harapan besar orang
tua dan masyarakat yang berharap banyak padanya untuk kembali dan membangun
kampungnya. Disaat itu ia merenungkan sejenak akan dirinya saat itu, namun ia
belum menemukan apa yang menjadi tuntutan para penanti sang Sarjana untuk bisa
membangun desa menjadi lebih baik, sehingga ia merasa dirinya perlu untuk
mengeksplor lebih dalam lagi potensi dirinya yang masih belum tergali.
Menyadari hal itu ia berusaha untuk
melakukan hal – hal terbaik dari dirinya untuk menghasilkan karya terbaik yang
pernah ada, namun ternyata tak segampang membalikkan telapak tangan,
menumbuhkan kemauan diri sendirilah yang menjadi masalah terbesar dalam
mentransformasikan dirinya saat itu, sehingga perlu cara lain agar perubahan
ini berhasil ia lakukan.
Seakan Allah telah menyusunkan
tangga-tangga menuju kesuksesan padanya. Sebuah Beasiswa Pembinaan hadir dan
melakukan recruitment untuk angkatan pertama di USU. Rumah Kepemimpinan Program
Pembinaan Sumber Daya Manusia Strategis Regional 6 Medan atau biasa disingkat
RK PPSDMS R6 Medan. Salah satu Program Beasiswa yang tak hanya memberikan uang
saku kepada penerimanya namun juga melakukan pembinaan kepada para penerimanya
untuk membentuk SDM yang Strategis dengan 4 jati diri: Muslim Produktif,
Aktifis Pergerakan, Mahasiswa Berprestasi, dan memiliki rasa Kekeluargaan dan
Kebersamaan, membentuknya menjadi pribadi yang memiliki pemahaman secara
konfrehensif.
Menjadi bagian dari RK PPSDMS
merupakan sebuah anugerah besar yang diberikan oleh Allah bagi dirinya, menjadi
bagian dari RK PPSDMS berarti berani menjadi sosok perubahan, dan menjadi
bagian dari RK PPSDMS berarti ikut andil dalam menata kembali negara ini
menjadi negara yang lebih baik dan bermartabat serta selalu mendapatkan
kebaikan dari Allah pencipta Alam semesta
Sejak bergabung bersama PPSDMS ia
mulai merasa perubahan dalam diri menuju hal yang lebih baik mulai terbangun,
mencoba memperluas kapasitas diri, menjadikan setiap waktu sebagai bagian yang
berharga, dan melakuakan segala hal dengan penuh rasa tanggungjawab.
RK PPSDMS telah menjadi rumah kedua
baginya untuk membentuk karakter seorang insan yang bertawakal namun tetap
prestatif, dan ia percaya bahwa iniadalah takdir Allah yang telah digariskan
sebagai proses baginya untuk mencapai kesuksesan itu, karna Allah sudah menyebarkan
benih kesuksesan, dalam tempat dan waktu yang tepat ketika suatu saat kita akan
membutuhkan, kesuksesan hidup dalam diri kita menunggu untuk Bersemi, Tumbuh
dan Berbunga.
Cerita Inspiratif : AKU DAN BIDIKMISI Oleh : Amalia Pratiwi
AKU DAN BIDIKMISI
Oleh : Amalia
Pratiwi
Suasana
kelas sangat ramai, tidak seperti biasanya. Hari ini enam kelas XII digabung
menjadi satu ruangan. Tiga kelas IPA dan tiga kelas lagi kelas IPS. Hari ini
akan ada pengarahan SNMPTN kepada seluruh siswa siswi kelas XII SMA NEGERI 1
AIR PUTIH oleh bapak Syahriadi selaku guru yang membimbing kami. Kuperhatikan
setiap wajah teman-temanku yang begitu antusias dan serius dengan pengarahan
tersebut. Namun ada juga yang asik sendiri dengan gadget dan handphone nya
karena tidak tertarik untuk melanjut belajar ke tingkat yang lebih tinggi dan
lebih memilih untuk bekerja. Begitu banyak pertanyaan dari kami ketika dipersilahkan
untuk bertanya, terutama dalam hal mengisi data.
Sambil
mendengarkan teman-teman yang lain bertanya, aku pun termenung dalam
kebimbangan. Aku sangat ingin melanjut sekolah ke Perguruan Tinggi Negeri, aku
ingin menimba ilmu, aku ingin memiliki banyak teman, aku ingin... ku ingin.
Tapi bagaimana dengan biayanya. Biaya kuliah tidaklah murah. Darimana aku bisa
mendapatkan uang untuk bayar kuliah. Selama ini uang jualan kripik cukup untuk
ongkos sekolahku dan adik-adik. Bagaimana mungkin untuk biaya kuliah yang
sangat mahal seperti kata banyak orang.
“Gak
usah kuliah kalo gak punya uang, nanti putus ditengah jalan.” Itulah yang
sering kudengar. Anggapan masyarakat berdasarkan kenyataan yang diketahuinya.
Sedih sekali rasanya mendengar hal itu, semangatku seperti ditumbangkan.
Sepertinya aku memang harus menerima kenyataan bahwa inilah yang terjadi, jadi
jangan berharap lebih. Terasa sesak sekali rasanya dada ini menahan dan
menerima kenyataan itu.
Pikiran
itu selalu terbayang dibenakku. Tidak mungkin kukorbankan sekolah adik-adikku
hanya untuk biaya kuliah. Egois sekali rasanya. Hampir saja bendungan air di
mata ini tumpah mengenai jilbab panjang yang kukenakan. Namun segera kutepis
dan tersadar bahwa aku tidak boleh putus semangat. Jika aku tidak memulai suatu
perubahan, bagaimana dengan masa depanku dan adik-adik. Jika aku tidak
bersemangat, bagaimana dengan adik-adik. Aku tak bisa membiarkan hal ini
terlalu lama. Aku harus bangkit walaupun tidak tahu dengan cara apa dan
bagaimana. Dan aku masih punya impian dan tekad untuk berubah. Untuk
membahagiakan orangtua dan adik-adik. Tanpa berfikir lama lagi, aku kembali
mengatur nafas dan memperbaiki posisi duduk untuk kembali fokus dan
meninggalkan rasa pesimis itu. Meyakini dalam hati bahwa jika ada niat pasti
ada jalan yang akan Allah berikan. Hanya itulah yang menjadi modal dasar dari
niatku ini. Rasa bimbang kembali muncul pada saat mengisi data gaji orangtua
perbulan. Ingin menangis rasanya hatiku. Malu dengan gaji orangtua yang tidak
seberapa dan sedih mengapa aku yang mengalami hal ini.
“Isi
gaji orangtua. Ayah dan Ibu. Buat yang sebenarnya dan yang dirasa bisa untuk
dipertimbangkan oleh pihak universitasnya.” Kata salah seorang guru
disekolahku. Hatiku kembali ciut dengan pengharapan yang sangat kecil untuk
melanjut pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Namun tanganku tetap saja
bergerak untuk mengisi formulir pendaftaran itu. Dan dengan tegar aku kembali
mengatur nafas untuk memberi semangat di jiwa ini dengan lafadz Bismillah, insyaAllah berkah. Teman-teman
yang bingung ingin menulis berapa seharusnya gaji orangtua yang dicantumkan
agar bisa masuk PTN. Ada yang diganti dengan menulis jumlah yang lebih besar,
ada juga yang tetap dengan jumlah yang sebenarnya dan tidak diubah. Salah
satunya adalah aku. Setelah semua selesai mengisi data, kami asik bercerita
masing-masing. Masih membahas dalam pengisian formulir SNMPTN, terutama mengisi
gaji orangtua.
“Untungnya
aku masih punya uang di tabungan, tapi gak banyak sih cuma 1 juta” kata salah
seorang temanku.
Lagi-lagi
aku hanya bermain dengan pikiranku sendiri, dan bertanya dalam hati ‘Apa
yang kupunya? Untuk ongkos sehari-hari saja harus dicari dulu dengan berdagang,
apalagi tabungan’
“Hemm…”
hela nafasku.
Entah
apa yang membuatku untuk terus melangkah maju. Hanya modal nekad dan pasrah
yang bisa kulakukan. Dengan sebuah keyakinan akan adanya kemudahan dan
pertolongan Allah. Ditengah-tengah tiada kemampuan finansial diri dan orangtua,
berani-beraninya aku mendaftar kuliah. Lagi-lagi, sesak rasanya dada ini
menahan tangisan dan jeritan hati. Namun, inilah keadaan yang harus kuterima.
Setelah
pengarahan dan pengisisan data selesai, kami kembali ke kelas masing-masing.
Aku dan beberapa temanku diminta untuk tetap tinggal diruangan. Entah apa yang
akan terjadi, aku hanya pasrah. Mungkinkah ia akan mengatakan bahwa dengan
jumlah gaji yang sekecil itu sangat mustahil untuk diterima oleh PTN. Ah,
entahlah. Belum selesai dengan lamunan hati, guru kami mengatakan bahwa kami
diusulkan untuk ikut BIDIKMISI. Awalnya aku tidak mengerti apa dan bagaimana BIDIKMISI
itu. Namun setelah dijelaskan, aku sangat senang dan sangat bersyukur. Akhirnya
pertolongan Allah datang disaat yang tepat. Walaupun kami tahu, ini belumlah
hasil akhir. Tapi kami terutama aku tetap optimis. Selalu dan tiada lain do’a
dalam dhuha ku meminta.
“KuasaMu
diatas segala-galanya ya Rabb. Tiada yang tidak mungkin jika Kau telah
berkehendak.”
Layaknya
seorang anak yang menangis kepada ibunya untuk diberikan permintaanya. Aku
sadar, saat ini hanya kuasa-Nya lah yang bisa kuharapkan. Niat baik, ikhlas, Lillah
untuk menimba ilmu untuk bahagia orangtua dan menaikkan derajatnya. Menjadi
manusia yang berguna, itulah prinsip hidupku. insyaAllah berkah.
Hari
demi hari, jam demi jam, detik demi detik. Hati kami resah dan dag dig dug menunggu hasil pengumuman
keluar. Dan pada hari yang dinanti pun tiba.
“Subhanallah, MahaS uci Engkau ya Allah.
Sungguh, Engkau menilai proses dalam sebuah pekerjaan,” gumamku dalam hati.
Alhamdulillah aku diterima di FISIP USU dengan
jurusan Ilmu Administrasi Negara dan dengan BIDIKMISI tentunya. Terbayar sudah
dengan apa yang kulakukan selama ini. Semangat yang tak pernah putus yang
selalu mengalir dari orangtua terutama ibu dan adik-adik. Dan selalu disertai
do’a keikhlasan.
Cerita
ini terinspirasi dari pengalaman pribadi yang sangat memberiku motivasi untuk
terus melangkah dengan niat Lillah untuk bahagia ibu bapak tercinta.
Selama diri masih bernafas dengan derap tiap langkah yang insyaAllah membawa
berkah. Aku disini untuk mereka, karena mereka dan atas do’a mereka.
Subscribe to:
Posts (Atom)